Gerakan melawan krisis iklim semakin mendapat perhatian dan partisipasi dari masyarakat luas. Bertepatan dengan itu, sirkulasi informasi edukatif tentang perubahan iklim dan kerusakan lingkungan juga semakin marak kita temukan di media televisi, koran dan media sosial. Salah satu aksi kampanye melawan krisis iklim adalah School Strike for Climate atau mogok sekolah.Â
Jumat lalu (23/9/2022), ribuan pelajar  di seluruh penjuru dunia melakukan mogok sekolah dan aksi kampanye di jalanan menuntut pemerintah untuk lebih tanggap menghadapi krisis iklim dan mencegah memburuknya bencana akibat pemanasan global.
Di Indonesia, mogok sekolah terlihat di beberapa kota besar seperti Yogyakarta, Jakarta, Medan, dan Makassar.
Meskipun aksi ini dipelopori dan identik dengan partisipasi pelajar (SD-SMA), terlihat terdapat partisipasi solidaritas dari semua kalangan usia.Peran pelajar dan pemuda dalam isu lingkungan serta perubahan iklim akhir-akhir ini semakin besar.Â
Di skala global, kita bisa ambil contoh seperti Greta Thunberg dan Fridays for Future yang memberi kritik besar pada para diplomat di ajang konferensi seperti COP dan UN Summit. Di kancah nasional, inisiatif pelajar tertuang dalam aksi demonstrasi koalisi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM SI) dan inisiatif gerakan-gerakan lingkungan hidup baik dari skala sekolah hingga nasional.
Melati Wijsen, aktivis lingkungan pendiri Bye Bye Plastic Bag, memiliki slogan yang tepat menggambarkan relasi pemuda dengan krisis iklim:
"Kami, anak-anak (muda) mungkin hanya 25% populasi dunia, tapi kami adalah 100% masa depan" - Melati Wijsen.
Marahnya pemuda dan pelajar sangat beralasan. Penelitian para ilmuwan yang didukung oleh  laporan IPCC menunjukkan bahwa pemanasan global adalah ancaman nyata penyebab bencana lingkungan hidup.Â
Bencana alam seperti kemarau panjang, curah hujan tinggi dan tidak teratur, dan kebakaran hutan adalah beberapa contoh krisis iklim yang sudah bisa kita lihat.
Frekuensi bencana ini akan terus meningkat bila umat manusia tidak bisa merubah gaya hidup konsumtif dan model ekonomi ekstraktif yang mengeksploitasi lingkungan. Selain itu, krisis iklim akan berdampak buruk terutama bagi demografi yang berada dalam situasi rentan seperti kalangan miskin, minoritas ras dan gender, serta disabilitas.