Saya marah.
Maka, saya menulis.
Dinamika hubungan manusia yang penuh dengan dialektika.
Terkadang mesra.
Terkadang penuh cedera.
Di dalam kemelut hati yang terluka, muncul sebuah cerita:
Iya, aku salah.
Tapi tolong jangan tegur aku.
Aku tidak mau melihat borok itu.
Aku tahu dia ada, tapi tidak bisa tahan apabila orang lain melihatnya.
Worse, menunjuk-nunjuknya, seolah aku sendiri tidak menyadarinya.
Bahkan seorang 'aku' pun tidak mampu membedakan, mana kawan dan mana lawan.
Kalau kau kawan, mengapa tak sekalipun kau menanyakan tentangnya?
Tak nampakkah kau borok bernanah ini?
Ah, mungkin kau tidak menyebutkan dia, karena takut aku terluka.
Karena dia menganga.
Jijik.
Kalau kau lawan, aku maklum.
Kau meneteskan air garam yang pedih.
Kau bangunkan aku dari pembiaran ini.
Menggoyang-goyangkanku dari kestabilan yang dengan susah payah kupertahankan.
Karena sudah terlalu sakit.
Ah, merecoki kehidupanku yang tentram saja!
Kau Kawan atau Lawan?
Bukan keduanya.
Kamu Guru Kehidupan.