Di kala hampir semua orang tua berpegang teguh pada keyakinan bahwa:
“Kalian sewaktu kecil, dibesarkan oleh orang tua.
Diberi makan
Dididik
Disekolahkan
Dinikahkan
Sekarang giliranmu merawat orang tua.
Kamu bayar hutang budimu kepada orang tua.
Kalau tidak, berarti kamu anak durhaka.”
Cara berpikir Bapak dan Ibu sungguh menginspirasi dia.
Anak tidak berhutang apapun kepada orang tua.
Bapak hanya beberapa kali mengulang pesan ini kepada Rima:
Marang wong tuwo, cukup loro perkarane:
Dipikul dhuwur
Dipendhem jero
(Kepada orang tua, cukup dua hal ini:
Diangkat tinggi-tinggi
Dikubur dalam-dalam)
Bapak berpesan bahwa cara terbaik untuk merawat orang tua adalah dengan dua cara:
1.Mengangkat derajatnya. Yaitu tidak melanggar norma atau melakukan perbuatan yang tidak sepatutnya.
Maka wajib menjaga nama baik diri sendiri dan keluarga besar.
2.Berkunjung ke pusara wajib hanya untuk mendoakan dan melepas kangen.
Cheng beng bukan untuk berkeluh-kesah kepada orang tua yang sudah tiada karena tengah diterpa masalah duniawi yang dialami.
Maka wajib bekerja dengan keras dan bersungguh-sungguh agar hidup dijalani dengan suka cita dan berkecukupan.
Rima ingat Bapak berkata, “Mungkin Bapak dan Ibu adalah orang tua yang gila apabila dibandingkan dengan banyak orang tua lain di luar sana.
Tapi kegilaan ini adalah karena kami sayang luar biasa kepada Rima.
Silakan Rima melanglang buana.
Temukan
Usahakan
Wujudkan apa saja yang membuat Rima berbahagia.
Bapak dan Ibu sudah tua.
Wajib untuk bisa menemukan kebahagiaan kami sendiri.
Terbanglah, sayang.
Kami yang tinggal di sini senantiasa mendoakan kamu dari jauh.”
Masa tua seperti inilah yang akhirnya Rima impikan juga.
Masa senja yang berbahagia; yang mandiri—tidak ngalem.
Yang tidak menuntut pembayaran hutang budi oleh anak
Inilah arti menjadi orang tua yang sebenarnya:
Harus gila.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H