Menurut Ibnu Katsir, karakter lain dari kelompok kedua ini adalah mereka yang melakukan perintah yang diwajibkan dan meninggalkan larangan yang diharamkan, tetapi pada saat yang sama tidak melakukan sebagian dari perbuatan yang disunahkan atau dibenci.
Ini merupakan kondisi psikologis yang dikenal sebagai hiprokit secara kontekstual. Sikap ini yang paling menakutkan telah menimpa umat Nabi secara historis, terutama ketika banyak orang yang mengaku beriman pergi ke Perang Badar, tetapi kembali kerumah ketika musuh datang. Sasaran dari retorika dakwah yang kedua adalah kaum munafik.
Kelompok ketiga merespons dengan segera melakukan kebaikan (sabiq bil-khairat). Dalam sikap kelompok ini sejalan dengan perintah Allah, “Maka berlomba-lombalah (dalam berbuat) kebaikan).” (QS. Al-Baqarah/2:148). Menurut penulis kitab Tafsir Jalalain, frasa “berlomba-lomba (dalam berbuat kebaikan” berarti segera menaati dan menerimanya. Ini merupakan sasaran ketiga dalam retorika dakwah.
Ketiga sasaran retorika dakwah itulah respons mereka terhadap turunnya al-Qur’an. Yang terakhir adalah yang terbaik. Mereka adalah sasaran retorika dakwah yang diharapkan mampu untuk melanjutkan gerakan dakwah secara konsisten dan berkelanjutan dari masa ke masa.
Selain konteks di atas, sasaran retorika dakwah juga dapat dipetakan dari segi kelas sosial, baik dari kalangan atas, menengah, maupun bawah, baik dari segi pendidikan maupun ekonomi. Secara spesifik, sasaran retorika dakwah dapat dipetakan berdasarkan gender, geografi, etnis, dan lain-lain.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI