Mohon tunggu...
Dimas Tri Pamungkas
Dimas Tri Pamungkas Mohon Tunggu... Guru - Author

Author

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

TURBA

27 Juli 2019   05:33 Diperbarui: 27 Juli 2019   05:42 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara umum, "Turun Kebawa" atau yang lebih dikenal dengan istilah akronimnya TURBA, telah disematkan sebagai praktik hegemoni Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) dan juga secara umum orang-orang menganggap LEKRA sebagai Onderbow Partai Komunis Indonesia (PKI). Mungkin benar atau tidaknya pernyataan itu, tergantung juga siapa yang memandang dan apa kepentingannya. Yang pasti, TURBA adalah metode yang memberikan nilai positif, yang tepat untuk seorang pemimpin dan seseorang yang bekerja di bidang seni dan kebudayaan.

TURBA menurut Hersri Setiawan mantan sekretaris LEKRA Jawa Tengah, dalam artikelnya berjudul "Tentang TURBA" yang ditulis pada 24 Februari 2015 mengatakan:

"TURBA adalah metode yang bekerja atas kombinasi 5 asas: (1) meluas dan meninggi, (2) tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik, (3) tradisi baik dan kekinian revolusioner, (4) kreatifitas individual dan kearifan massa, dan (5) realisme sosialis dan romantisme revolusioner".

Maka dapat dikatakan TURBA adalah "Metode untuk mengenal masyarakat lapisan bawah, menangkap denyut jantungnya dan menyuarakannya dengan merelahkan diri kita sebagai wahana mereka "

Jika meminjam kalimat Agam Wispi, "Sangat tidak masuk di akal memang, jika metode TURBA bisa dilakukan, terutama oleh para seniman dan budayawan". Tentuh tidak, jika benar-benar bisa memahami dan menyisipkan konsep "3 Sama" D.N Aidit: Sama Kerja, Sama Makan dan Sama Tidur. Dalam artian, setidaknya para seniman dan para beduyawan pernah mengalami bekerja, makan dan tidur seperti rakyat lapisan bawah pada umumnya. Jadi, bukan hanya sekedar sibuk merumuskan ide dan menciptakan karya dengan duduk saja di studio ataupun mejah tulis, bukan hanya sekedar makan dengan nikmat di meja makan yang berhiaskan bunga emas, bukan hanya sekedar tidur di kasur empuk berselimutkan kain tebal yang hangat. Dan yang paling kejam, bukan hanya sekedar mengambil apapun dari rakyat lapisan bawah tanpa benar mengalami atupun menjadi seperti mereka dan kemudian menjualnya kepada kaum elitis didalam bentuk karya, dengan upah yang menguntungkan diri sendiri. Karena itu adalah bentuk lain eksploitasi manusia.

Metode TURBA, akan memungkinkan dua pencapaian serta manfaat didalam praktiknya. Bagi yang "diturun-bawahi" suara mereka akan terwadahi dan terdengar diatas permukaan percaturan dan bagi yang "menurun-bawahi" akan bertambah matangnya ideologi dan tingkat artistiknya, terutama soal kepekaan terhadap kemurnian manusia dalam realitasnya.

"Realitas adalah ketetapan situasi, kebenaran hidup. Yang mengharuskan kita menyikapi dan menerima situasi yang ada, dan bersiap menghadapinya dengan sewajarnya"

Maka, sesuai apa yang saya tulis. Menurut kebenaran saya, yang pasti belum tentu benar menurut orang lain. Bolehlah seseorang yang bekerja di bidang seni dan budaya dalam penyesuaian konteks, menggunakan kecemerlangan ide serta gagasan untuk menciptakan karya imajiner ataupun karya nihilistik. Tetapi, tidak ada kata tidak untuk kembali "Turun Kebawa'' pada masyarakat lapisan bawah. Jika tidak, ide serta gagasan yang cemerlang hanyalah mansturbasi belaka yang melutus di awal dan berakhir dengan kesia-siaan.

Boeng TURBA boeng. Jika ada yang mengatakan seni dan budaya telah dikucilkan masyarakat, itu tidak benar. Yang benar adalah, seni dan budaya mengucilkan diri dan mengucilkan masyarakat di gedung-gedung mewah dengan para elitis yang memberikan tepuk tangan dan sanjungan semu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun