Undang-Undang Informasi dan transaksi elektronik atau yang biasa disingkat dengan UU ITE sudah menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini karena banyak orang yang terjerat hukum berkaitan dengan UU ITE, baik itu wajar maupun tidak.
Beberapa ahli hukum, akademisi, para tokoh dan lainnya menyatakan bahwa memang ada masalah dalam undang-undang ini, dari segi substansinya maupun penerapannya. Oleh karenanya melontarkan ide merevisi undang-undang ini menjadi salah satu opsi dan jalan.
Baru-baru ini presiden Joko Widodo dalam pidatonya menyinggung soal UU ITE, beliau menyatakan "Kalau Undang-Undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan ya saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi undang-undang ini, Undang-Undang ITE ini. Terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak" (Ramadhan, 2021).
Hal ini menjadi menarik, apakah memang ini menjadi momentum yang tepat untuk merevisi undang-undang yang telah meresahkan publik selama ini atau ada maksud lain.
Semua pertanyaan tersebut hanya bisa terjawab oleh waktu, perkataan tersebut membutuhkan pembuktian dan tindakan yang nyata. Publik menunggu konsistensi kata dari pemimpinya, apabila hanya sebatas kata tanpa ada ujungnya. Hal tersebut membuktikan bahwa lontaran pernyataan tersebut ada maksud lain dibaliknya, bukan bermaksud nyata menciptakan momentum untuk merevisi Undang-Undang ITE.
Apabila hal itu yang terjadi, menunjukan bahwa pemerintah gagap dalam menangkap suara publik. Bahkan bukan hanya itu namun juga gagal menciptakan cara untuk mendapatkan simpati masyarakat.
Lebih dari pada itu menjelaskan bahwa negara sedang tidak berada dalam kondisi baik-baik saja. Penanggungjawab untuk mengatur negara sudah tidak berorientasi untuk kepentingan konstituen, namun bertujuan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Ketakutan lebih lanjut adalah instruksi presiden ini tidak dijalankan dengan baik oleh bawahanya, sehingga terdapat intepretasi yang berbeda satu dengan yang lainya. kegagalan kemampuan bawahan untuk mengakomodir keinginan presiden ini membuat diujungnya akan tidak jelas.Â
Persis dengan apa yang dikatakan oleh Rivanlee Anandar wakil koordinator Kontras bahwa ada dua kemungkinan, jajaran di bawah Presiden tidak menangkap pesan Presiden dengan baik, atau memang sengaja didesain seperti ini (Putri, 2021). Semua indikasi ini menjadi miris, karena pemimpin  melontarkan statement yang seolah-olah hanya menjadi harapan palsu bagi masyarakat.
Desain lain atau maksud lain di balik pernyataan ini apakah mungkin tercapai apabila terjadi kehebohan di ruang publik. Pemerintah harus bertanggung jawab dengan hal ini, bukan hanya persoalan tugas namun juga berkaitan dengan etis. Mungkin hal demikian tidak akan terpikirkan oleh penanggungjawab, karena orientasinya sudah melenceng dari jalur kebenaran.
Pada akhirnya hanya waktu yang akan merinci semua gerak gerik pemimpin, terbuktikah pernyataanya atau memang hal lain yang memang dari awal menjadi tujuanya. Lebih dari pada itu mendesak dan bersuara menjadi ruang publik untuk selalu menjaga ketidakbisuan. Semua dalam rangka mengingatkan pengatur negara untuk kembali kejalur, karena kewajiban menjaga negara bukan hanya eksekutif dan legislatif namun juga semua yang hidup di sini.