Keruntuhan filsafat Islam dimulai ketika otoritas politik dan keagamaan mulai mengendalikan kebebasan berpikir. Selama masa kejayaannya, filsafat Islam tumbuh subur karena didukung oleh lingkungan yang toleran terhadap perbedaan gagasan, sebagaimana yang terlihat di istana Abbasiyah dan Andalusia. Namun, perubahan politik yang ditandai oleh fragmentasi kekuasaan dan dominasi otoritas keagamaan konservatif mulai mengancam tradisi intelektual ini. Seiring waktu, gagasan-gagasan filosofis yang dianggap "tidak sesuai" dengan dogma keagamaan mulai ditolak, bahkan dikutuk, sebagaimana yang terjadi pada Ibn Rushd, yang karya-karyanya dilarang dan pengaruhnya terpinggirkan.
Selain itu, perkembangan struktur sosial yang menyerupai feodalisme di dunia Islam juga turut mempercepat kemunduran filsafat. Hierarki kekuasaan yang kaku dan ketergantungan pada elit politik membuat kebebasan intelektual semakin terkekang. Banyak pemikir terpaksa meninggalkan karya-karya kritis mereka atau mengalihkan perhatian pada bidang-bidang yang lebih aman secara politis, seperti mistisisme atau ilmu-ilmu praktis. Akibatnya, filsafat kehilangan fungsinya sebagai alat untuk mengkritisi realitas sosial dan politik, digantikan oleh pemikiran yang lebih doktrinal dan normatif.
Keruntuhan filsafat Islam dan masa keemasannya memiliki kemiripan dengan stagnasi filsafat di Eropa Abad Pertengahan. Dalam kedua kasus ini, feodalisme---baik dalam bentuk politik maupun sosial---berperan dalam mengurung kebebasan berpikir. Keterbatasan ruang intelektual ini tidak hanya menghentikan perkembangan filsafat, tetapi juga melemahkan peradaban secara keseluruhan. Kejayaan yang pernah dicapai di dunia Islam maupun Eropa akhirnya terkikis oleh dominasi hierarki yang menolak dialog dan keberagaman pemikiran.
Demokrasi Sebagai Jalan Keluar Dari Sistem Feodalisme
Feodalisme, dengan sistem hierarki yang mengurung kebebasan berpikir dan mempertahankan perbedaan status, telah meruntuhkan potensi besar filsafat dan menghambat kemajuan peradaban. Dalam sistem ini, kebebasan intelektual dibungkam, sementara otoritas yang tidak rasional mendominasi kebenaran dan pemikiran masyarakat. Namun, demokrasi menawarkan jalan keluar yang penuh harapan, memberikan kebebasan bagi individu untuk berpikir, berbicara, dan berpendapat tanpa rasa takut.
Demokrasi, dengan prinsip-prinsip egalitarianisme dan partisipasi aktif, mengalahkan ketertutupan yang ditumbuhkan oleh feodalisme. Dalam sistem demokrasi, filsafat dapat kembali memainkan peran pentingnya, yaitu sebagai ruang untuk menggali kebenaran, mempertanyakan status quo, dan mendorong perubahan yang positif. Dengan memberikan kesempatan yang setara bagi setiap individu untuk mengembangkan pemikiran dan potensi intelektualnya, demokrasi membuka jalan bagi kemajuan sosial dan intelektual yang berkelanjutan.
Oleh karena itu, demokrasi tidak hanya menjadi solusi untuk mengatasi feodalisme, tetapi juga sebuah upaya untuk membangun masyarakat yang lebih adil, terbuka, dan progresif. Melalui demokrasi, filsafat dapat berkembang bebas tanpa takut dibatasi oleh kekuasaan yang menindas, memberi cahaya bagi peradaban menuju masa depan yang lebih cerah. Demokrasi mengingatkan kita bahwa kebebasan intelektual adalah kunci untuk mencapai kemajuan, dan hanya dengan menghapuskan struktur feodal yang membelenggu, kita dapat benar-benar membangun masyarakat yang berkemajuan dan berpikiran bebas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H