Mohon tunggu...
Dimas Rajayaksa
Dimas Rajayaksa Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Mahasiswa Hukum/Staf Bagian Hukum Kota Makassar

Pecinta karya fiksi baik itu sastra klasik, manga, anime, film maupun tv series. Mendedikasikan diri pada ilmu hukum lalu diselingi filsafat, sejarah dan ilmu politik.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penghapusan Presidential Treshold: Gerbang Pembuka Menuju Demokrasi yang Inklusif

7 Januari 2025   00:55 Diperbarui: 7 Januari 2025   01:20 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini mengabulkan gugatan terkait penghapusan ambang batas atau Presidential Treshold yang termaktub dalam putusan nomor perkara 62/PUU-XXII/2024, dimana sebelumnya syarat menjadi Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden harus diusung oleh partai politik yang memenuhi minimal 20 persen kursi di DPR RI dan 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya.  Putusan ini adalah Landmark Desicion oleh MK yang  memberi dampak signifikan pada wilayah politik praktis  serta penentu arus demokrasi Indonesia kedepannya.  

Pro-Kontra dikalangan intelektual maupun masyarakat pada umumnya turut menyelingi penghapusan Presidensial Treshold, sebagian memberi apresiasi positif terhadap MK karena putusannya dianggap memberi ruang partisipasi yang inklusif dan demokrasi berbasis kesetaraan hak politik,  sebagian lagi memberi tanggapan kritis bahwa tanpa Presidential Treshold, akan menimbulkan fragmentasi politik, mengurangi efisiensi serta terjadi pembengkakan ongkos politik nantinya.  
Dalam tulisan ini, penulis sepakat bahwa Penghapusan Presidential Treshold oleh MK layak mendapatkan apresiasi positif dan patut disambut dengan optimisme realistis sebagai langkah awal untuk mewujudkan demokrasi yang ideal, kendati kita juga tidak selayaknya menafikkan segala resiko dan implikasi buruk yang menjadi tantangan bersama bagi demokrasi Indonesia.

Kesetaraan hak dalam kompetisi politik adalah indikator penting bagi demokrasi yang sehat. Dukungan sistem yang menyediakan peluang bagi warga negara maupun figur politik untuk berpartisipasi secara adil dan terbuka dalam arena pertarungan politik, dapat berdampak baik terhadap kualitas demokrasi Indonesia. Partai-Partai Politik yang kecil dan masih belia mendapatkan akses untuk menyumbang gagasan, narasi, serta inovasi yang sesuai dengan ideologi politik mereka masing-masing tanpa harus dibayangi oleh dominasi partai politik besar yang selama ini terbukti belum mampu memberi solusi atas segala problematika bangsa. Selama ini, Presidensial Treshold menjadi belenggu ruang partisipasi dan menimbulkan ketimpangan atas hak kesetaraan kesempatan, dimana partai politik yang basis suaranya masih kecil  sekedar menjadi pelengkap, dan terpaksa berkoalisi bersama partai politik yang basis suaranya mencukupi kendati bertentangan secara ideologi politik. Implikasi semacam itu bertentangan dengan prinsip ideal demokrasi.

Ketersediaan pilihan politik yang beragam juga dapat membuka jalan bagi masyarakat Indonesia untuk memilih secara rasional, gagasan-gagasan alternatif yang bertumbuh seiring dengan peningkatan kuantitas kompetitor akan melandasi praktik politik yang diskursif  dan mengurangi resiko konflik horizontal. Belajar dari Pemilu Presiden 2019, keterbatasan pilihan politik akibat Presidential Treshold  menimbulkan polarisasi, kubu-kubu politik dengan ekstrem yang bertolak belakang satu sama lain membuat bangsa terpecah belah dan menjadi penyakit kronis yang berdampak buruk bagi kesehatan demokrasi Indonesia dalam jangka panjang.


Keberlakuan Presidential Treshold selama ini menjadi akses bagi oligarki untuk beternak politisi melalui mekanisme koalisi. Kekuatan politik yang terpusat pada segelintir elite akan menyulut negosiasi politik antar partai yang sekedar menekankan pragmatisme, hal itulah yang dimanfaatkan oligarki dengan segala sumber daya dan kekuatan finansialnya untuk mendikte partai politik agar bergerak sesuai kepentingannya. Maka setelah dihapuskannya Presidential Treshold, berdampak pada meningkatnya representasi politik dari kalangan minoritas mapun kelompok marjinal, serta munculnya figur-figur pemimpin non-partai, dapat menjadi penyeimbang dominasi oligarki sekaligus meregenerasi sistem politik dan demokrasi Indonesia.


Potensi fragmentasi politik yang timbul akibat dihapusnya Presidential Treshold menjadi argumen yang digunakan oleh sebagian orang yang kontra terhadap putusan MK. Kekhawatiran ini didasari pada asumsi bahwa kompetisi politik yang terlalu bebas serta lonjakan kandidat akan memecah suara rakyat sehingga menimbulkan instabilitas dalam mencapai konsensus politik. Namun hal itu sebenarnya tidak cukup kuat seagai dasar karena sistem dua putaran pada pemilu presiden Indonesia selama ini telah cukup untuk mengatasi fragmentasi suara rakyat. Ketika pada putaran pertama tidak ada kandidat yang menerima suara mayoritas maka dua kandidat dengan suara terbanyak maju untuk berkompetisi di putaran kedua. 

Selain itu, ongkos politik yang membengkak juga menjadi kekhawatiran. Banyaknya kandidat politik dalam suatu kompetisi bebas akan mempengaruhi peningkatan keperluan promosi politik, logistik dan kampanye di berbagai daerah di seluruh wilayah Indonesia akan memakan banyak biaya. Namun penulis berpendapat, mahalnya ongkos politik di Indonesia tidak disebabkan semata-mata oleh banyaknya kandidat tetapi faktor budaya Money Politics. Praktik politik transaksional, pemberian serangan fajar, "membeli tiket" pencalonan melalui koalisi, serta tidak adanya aturan yang dapat menopang pembiayaan politik yang efisien menjadi penyebab pembengkakan ongkos politik tetap terjadi, dengan atau tanpa Presidential Treshold.
Pada akhirnya, Penghapusan Presidential Treshold menjadi langkah penting menuju demokrasi yang inklusif, substantif dan representatif. Kesetaraan hak dan keterbukaan peluang bagi partai-partai kecil sehingga figure pemimpin  independen menjadi lentera yang menerangi proses regenerasi kepemimpinan politik, yang tentunya mampu menekan dominasi partai politik besar dan oligarki yang membelakanginya. 

Kekhawatiran fragmentasi politik dan pembengkakan ongkos politik adalah sesuatu yang wajar diucapkan semata-mata untuk melihat dari perspektif lain, kendati sistem dua putaran dalam pemilu presiden sudah cukup untuk menjawab kekhawatiran tersebut serta perihal ongkos politik yang penyebabnya justu lebih dominan oleh faktor lain diluar Presidential Treshold.  

Harapan penulis, putusan MK yang menghapuskan Presidensial Treshold ini menjadi tindakan progresif dan pembaharu menuju  sistem politik dan tatanan demokrasi yang berbasis keadilan dan  pengejawantahan cita-cita reformasi Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun