Mohon tunggu...
Dimas Putra Pangestu
Dimas Putra Pangestu Mohon Tunggu... Lainnya - Learner

Dua mata, dua telinga, minim bicara

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Utang Negara, Modernisasi dan Nasib Kaum Marjinal

11 Januari 2016   05:32 Diperbarui: 11 Januari 2016   07:33 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia merupakan manusia merupakan makhluk yang dinamis. Manusia secara tidak sadar atau sadar menginginkan suatu perubahan yang progresif di dalam dirinya. Sekalipun ada manusia yang tidak menginginkan suatu perubahan di dalam dirinya, namun lambat laun ia akan terbawa oleh suatu sistem yang mengikat dan bersifat dinamis. Pada hakikatnya perubahan terhadap diri manusia tersebut jika perubahan ini berskala besar dan akan merubah suatu pola pikir manusia, sistem sosial, ekonomi, politik, kemajuan teknologi dan sebagainya ke arah yang lebih maju atau modern, maka terjadilah fenomena modernisasi.

Pada dasarnya, modernisasi adalah perubahan menuju ke arah yang lebih maju, atau bisa juga disebut sebagai perubahan dari tradisional menuju modern. Modernisasi mungkin merupakan persoalan menarik yang dewasa ini merupakan gejala umum yang ada di dunia ini. Kebanyakan masyarakat di dunia dewasa ini terkait pada fenomena modernisasi, baik yang baru memasukinya, maupun yang sedang meneruskan tradisi modernisasi. Secara historis, modernisasi merupakan suatu proses perubahan yang menuju pada tipe sistem-sistem sosial, ekonomi, dan politik yang telah berkembang di Eropa Barat dan Amerika Utara pada abad ke-17 sampai 19. Sistem sosial yang baru ini kemudian menyebar ke negara-negara Eropa lainnya serta juga ke negara-negara Amerika Selatan, Asia, dan Afrika.

Menurut Wilbert E Moore modernisasi mencakup suatu transformasi total kehidupan bersama yang tradisional atau pra modern dalam arti teknologi serta organisasi sosial ke arah pola-pola ekonomi dan politis yang menjadi ciri negara-negara barat yang stabil. Karakteristik umum modernisasi yang menyangkut aspek-aspek sosio-demografis masyarakat dan aspek-aspek sosio-demografis digambarkan dengan istilah gerak sosial (social mobility). Artinya suatu proses unsur-unsur sosial ekonomis dan psikologis mulai menunjukkan peluang-peluang ke arah pola-pola baru melalui sosialisasi dan pola-pola perilaku. Perwujudannya adalah aspek-aspek kehidupan modern seperti misalnya mekanisasi, mass media yang teratur, urbanisasi, peningkatan pendapatan perkapita dan sebagainya (sumber :www.infosos.wordpress.com).

Begitu juga halnya dengan suatu bangsa seperti bangsa Indonesia yang sedang mengalami proses modernisasi. Tercatat Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang menuju negara yang modern dan lebih stabil dalam segala aspek. Fenomena modernisasi di Indonesia ditandai dengan pembangunan yang sedang giat-giatnya dilakukan oleh pemerintah Indonesia di segala bidang. Pembangunan ini tentunya memakan waktu yang cukup lama dan itu merupakan suatu konsekuensi dari bangsa yang menginginkan suatu perubahan ke arah yang lebih baik dan maju. Hal yang sangat vital dari suatu proses pembangunan yang merupakan bagian dari modernisasi adalah mengenai dana pembangunan.

Tentunya dana tersebut sangat diperlukan untuk membangun infrastruktur, salah satunya yaitu di dalam bidang pendidikan guna melahirkan penerus bangsa yang berpola pikir maju yang tentunya akan sangat berguna untuk kelangsungan suatu bangsa. Jika kembali lagi di permasalahan dana pembangunan, di Indonesia sendiri pemerintah mengambil resiko yang sepatutnya diambil yaitu meminjam dana dari negara lain yang lebih maju dari Indonesia. Total hutang pemerintah pusat berdasarkan statistik Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan akan mencapai 2.864 triliun pada penghujung tahun 2015. Sekitar 76 persen dari total utang atau sebesar Rp 2.171 triliun, berasal dari lelang surat berharga negara atau obligasi di pasar uang. Sementara sisanya sebesar Rp 693 triliun atau sekitar 24 persen bersumber dari pinjaman dari kreditur domestik maupun asing. Total utang tersebut merupakan akumulasi dari upaya pemerintah mencari pembiayaan pembangunan sejak negeri ini merdeka 70 tahun lalu. 

Hampir semua rezim yang berkuasa punya andil terhadap pembengkakan utang Indonesia. Hampir setiap tahun utang Indonesia membengkak, di mana dalam lima tahun terakhir rata-rata bertambah lebih dari Rp 230 triliun. Dikutip dari situs resmi DJPPR, komposisi penerbitan obligasi negara dari hari ke hari semakin mendominasi dan menggerus porsi utang pinjaman. Sebagai catatan, pada 2010 porsi pinjaman itu sebesar 37 persen, sedangkan lelang obligasi negara mencapai 63 persen. Angka pinjaman terus menyusut, sebaliknya penarikan pembiayaan dari pasar obligasi terus meningkat.

Berdasarkan perhitungan DJPPR 2015, utang jatuh tempo pemerintah pada tahun 2015 sebesar Rp 102 triliun, di mana 67 persen (Rp 68 triliun) merupakan jatuh tempo obligasi negara dan 33 persen (Rp34 triliun) merupakan pinjaman yang masuk jadwal pembayaran. Kementerian Keuangan melalui DJPPR, bahkan telah membuat simulasi utang jatuh tempo Indonesia hingga tahun 2054 atau sampai 39 tahun ke depan. Ledakan terbesar bom utang Indonesia diprediksi akan terjadi dalam sembilan tahunmendatang atau pada 2024, di mana nilai utang yang harus dibayar pemerintah pada saat itu akan mencapai Rp 240 triliun. Pada tahun 2016 dan 2019 nilai utang jatuh tempo pemerintah Indonesia juga tergolong signifikan, yakni diperkirakan masing-masing mencapai Rp 207 triliun dan 219 triliun (sumber :www.djppr.kemenkeu.go.id & www.cnnindonesia.com).  

Ya, berbagai hutang negara yang sudah penulis sebutkan diatas merupakan resiko yang harus diterima suatu bangsa di dalam fenomena modernisasi. Indonesia sendiri menurut penulis seharusnya mampu untuk memanfaatkan potensi sumber daya alam yang pada dasarnya lebih dari cukup untuk mewujudkan modernisasi dan pembangunan sehingga Indonesia berhasil keluar dari ketergantungan dan jeratan hutang-hutang dari negara lain. Yang belum mampu Indonesia lakukan adalah mengenai persoalan pengolahan sumber daya. Selain hal itu Indonesia juga masih tidak cermat dalam mengalokasikan dalam hal bisnis sumber daya alam yang sampai sekarang pun Indonesia masih dirugikan dalam kontrak-kontraknya dengan negara lain, seperti kasus Freeport yang kontrak bisnisnya hanya menguntungkan pihak Amerika, yang seharusnya jika kontrak bisnis tersebut menguntungkan bagi Indonesia, keuntungan tersebut bisa dimanfaatkan untuk pembangunan dan modernisasi negara Indonesia, serta mereduksi berbagai hutang-hutang negara Indonesia dengan negara lain.

Berbagai dampak tentunya diakibatkan oleh fenomena modernisasi, ada dampak yang positif serta ada juga dampak negatif. Berbagai dampak positif dari modernisasi adalah seperti terjadinya pertumbuhan ekonomi, dalam bidang teknologi juga akan berkembang dan berguna bagi kepraktisan serta kesejahteraan bangsa, berkembangnya pola pikir serta kecerdasan rakyat yang diakibatkan oleh persaingan terbuka dengan rakyat dari berbagai negara asing lainnya, dan masih banyak lagi. Tentu saja tidak dapat dipungkiri bahwa Tak ada gading yang tak retak. Peribahasa yang tadi penulis sebutkan sangat pas dengan dampak yang diakibatkan oleh fenomena modernisasi, yaitu selain dampak positif yang diberikan oleh modernisasi, tentunya ada berbagai dampak negatif yang juga diakibatkan oleh modernisasi.

Salah satu yang menarik perhatian dari penulis sendiri adalah terciptanya Kaum Marjinal. Kaum Marjinal adalah kaum atau kelompok yang terpinggirkan dan seakan terasingkan dari “kenikmatan” pembangunan negara. Kaum Marjinal pada umumnya merupakan kelompok dari kelas bawah. Banyak orang yang menganggap bahwa Kaum Marjinal merupakan kelompok sosial yang dimiskinkan oleh suatu proses yang dinamakan pembangunan. Contoh kelompok yang termasuk ke dalam Kaum Marjinal adalah seperti pengamen, pengemis, buruh, serta kelompok yang dalam kehidupan perekonomiannya cenderung pas-pasan. Kelompok tersebut seakan menjadi suatu potrait menyedihkan dari modernisasi. Kaum Marjinal yang identik dengan kemiskinan secara tidak langsung menjadi sosok penghias dari kemajuan suatu bangsa. Terbesit di benak banyak orang, mengapa di tengah sibuknya arus modernisasi dan giatnya pembangunan di dalam segala aspek kehidupan masih ada saja segelintir orang yang tidak dapat merasakan dan bak dikurung dalam kemunduran.

Apakah proses modernisasi ini belum siap diterapkan (di Indonesia)? Ataukah modernisasi ini mengalir terlalu jauh? Pada dasarnya pembangunan yang tidak merata dan kapitalisme ialah penyebabnya. Pembangunan yang tidak merata diakibatkan oleh pembentukan model pembangunan oleh pemerintah yang cenderung tidak melibatkan rakyat dalam perencanaannya. Akibatnya terdapat kelompok yang tidak tersentuh pembangunan itu sendiri, seperti Kaum Marjinal. Kapitalisme juga berperan dalam pembentukan sosok Kaum Marjinal, misalnya kapitalisme di dalam dunia industri, dimana modernisasi di bidang industri memiliki peran yang vital guna mencapai kemajuan perekonomian negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun