Mohon tunggu...
Dimas PrastiyoBudi
Dimas PrastiyoBudi Mohon Tunggu... Lainnya - akun ini membahas tentang dunia Filsafat

Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Review Sejarah Tuhan (Tuhan Para Filosof) Karen Amstrong

26 April 2020   23:20 Diperbarui: 26 April 2020   23:46 1023
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Al-Kindi bersesuaian dengan Al-Quran. Akan tetapi, Al-Kindi melangkah lebih jauh karena dia tidak membatasi diri pada nabi-nabi saja, tetapi juga berpaling kepada para filosof Yunani. Dia menggunakan argumen-argumen Aristoteles untuk membuktikan eksistensi Penggerak pertama. Dalam dunia yang rasional, Al-Kindi berargumen, segala sesuatu pasti mempunyai sebab. Oleh karena itu, mestilah ada suatu Penggerak yang Tak Digerakkan untuk memulai menggelindingkan bola. Prinsip Pertama ini adalah Wujud itu sendiri, tidak berubah, sempurna, tak dapat dihancurkan. Namun, setelah tiba pada kesimpulan ini, Al-Kindi berpisah dari Aristoteles dengan mengetengahkan doktrin Al-Quran tentang penciptaan dari ketiadaan (ex nihilo). Aksi dapat didefinisikan sebagai mengadakan sesuatu dari ketiadaan. Aksi ini, menurut Al-Kindi, bersifat prerogratif bagi Tuhan. Dia adalah satu-satunya Wujud yang benar-benar dapat melakukan aksi dalam pengertian yang seperti ini, dan dia pulalah sebab nyata bagi seluruh aktivitas yang kita saksikan di dunia sekeliling kita.

Saya kurang setuju dengan argument al-kindi yang ada di dalam buku ini, dan saya lebih setuju argument al-kindi yang ada di ensklopedi tematis filsafat Islam Seyyed Hossein Nasr: Tuhan menurut al-kindi ialah pencipta alam, bukan penggerak pertama. Tuhan itu esa, azali, ia unik. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, tidak bertubuh, ia hanyalah keesaan belaka, selain tuhan semua mengandung arti banyak. pembahasan utamanya filsafatnya ialah tentang konsep ketuhanan. Karena menurutnya filsafat adalah menyelidiki kebenaran, maka filsafat pertamanya adalah pengetahuan tentang allah. Allah adalah kebenaran pertama, yang benar tunggal dan penyebab semua kebenaran.

Bahya ibn Pakudah (w. kl. 1080)  percaya bahwa dua kelompok manusia yang mampu menyembah Tuhan dengan sempurna adalah para nabi dan filosofmanusia selain mereka hanya menyembah Tuhan yang diproyeksikan pikiran sendiri. Mereka semua tak lebih seperti orang buta yang harus dibimbing oleh orang lain jika tak mampu membuktikan sendiri eksistensi dan keesaan Tuhan. Bahya sama elitisnya dengan para faylasuf, tetapi dia juga mempunyai kecenderungan Sufistik yang kuat: akal dapat memberi tahu kita bahwa Tuhan itu ada tetapi tak mampu menyampaikan apa pun mengenai Tuhan.

Saya setuju, akal dapat memberi tahu kita bahwa Tuhan itu ada tetapi akal tidak mampu menyampaikan apa pun mengenai Tuhan. Artinya, kalau sepamahaman saya akal berurusan dengan pembuktian kebenaran dengan adanya Tuhan yang didasarkan pada penalaran manusia. Dengan demikian, ada beberapa macam pembuktian filosofik yang berusaha membukakan jalan menuju Tuhan, yakni: pembutian ontology, kosmologi, teleologi, moral, dan henelogical argument.

Teolog abad kesebelas, Anselm dari Canterbury, yang pandangan-pandangannya tentang Inkarnasi telah dibahas pada Bab 4, kelihatannya berpendapat bahwa segala sesuatu dapat dibuktikan. Tuhannya bukan Tiada, melainkan wujud tertinggi dari segalanya. Bahkan, seorang yang tidak beriman bisa membentuk ide tentang wujud yang mahatinggi itu, yang merupakan "satu watak, tertinggi di antara segala sesuatu, mahatunggal dan berkecukupan dalam kedamaian abadi". 28 Sungguhpun demikian, dia juga mengajarkan bahwa Tuhan hanya mungkin dikenal melalui iman. Ini tidaklah separadoks kelihatannya. Dalam doanya yang terkenal, Anselm merefleksikan sabda Yesaya: "Jika engkau tak beriman, engkau takkan mengerti".

Saya setuju, mungkin dengan rasa iman atau menyakini sesuatu kita bisa memahami segala sesuatu yang belum kita ketahui. Aku ingin memahami kebenaranmu yang diyakini dan dicintai oleh hatiku. Karena aku mencari pemahaman bukan agar aku beriman, melainkan aku beriman agar aku memahami (credo ut intellegam). Karena aku bahkan percaya kepada ini: aku takkan mengerti, kecuali kalau aku beriman, agama pada dasarnya adalah iman, tidak ada agama tanpa iman, dan iman dalam pengertian agama, bukan sekedar pengakuan dan pengetahuan tentang adanya tuhan saja. Tetapi iman itu dibangun dari pengalaman yang intens berhubungan secara langsung dan pribadi dengan tuhan. Pengalaman iman sesungguhnya dicapai melalui proses komunikasi dan dialog pribadi dengan tuhannya dalam lapangan kegiatan kehidupan dan kemanusiaan yang amat luas. Dalam konsep filsafat islam, iman harus menjadi pengalaman komunikasi dan dialog kreatif, dinamis, terbuka dan berkelanjutan. Pengalaman iman membawa seseorang pada pengenalan secara pribadi dengan tuhan. Ia mengenal tuhan karna pengalaman imannya, pengalaman itu terjadi secara langsung dan obyektif, tidak mengada-ngada, tetapi terjadi sesungguhnya dan sifatnya spiritual.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun