Selama masa kejayaan  Baghdad, seni, sastra, dan musik berkembang pesat sebagai bagian dari kemakmuran budaya yang dipromosikan oleh Kekhalifahan Abbasiyah. Khalifah seperti Harun al-Rasheed dan al-Ma'mun sangat mempromosikan seni dan budaya, menciptakan lingkungan yang mendukung bagi para seniman, penulis, dan musisi.
Dalam seni, arsitektur dan dekorasi, Islam mencapai puncak kejayaannya. Masjid, istana, dan bangunan publik di Baghdad dihiasi dengan kaligrafi Arab yang rumit, pola geometris, dan seni arabesque. Tenun karpet, tembikar, dan pengerjaan logam juga berkembang pesat, dengan para perajin menciptakan karya-karya yang indah sekaligus fungsional.
Di bidang sastra, Baghdad menjadi pusat produksi dan distribusi karya sastra. Karya-karya seperti "Seribu Satu Malam" berasal dari kota ini dan merupakan lambang sastra Islam, yang  menggabungkan cerita rakyat, legenda, dan tradisi dari berbagai daerah. Penyair seperti Al-Mutanabbi dan Abu Nuwas menggabungkan tema cinta, agama, dan kehidupan sehari-hari dalam puisi mereka, menciptakan warisan sastra  abadi. Baghdad juga merupakan tempat berkembangnya prosa ilmiah dan filsafat, menghasilkan karya-karya yang menerangi dunia pengetahuan.
Dalam musik, Baghdad menjadi pusat inovasi dan pengembangan teori musik. Musisi seperti Ishaq al-Mawsili mengembangkan instrumen dan melodi baru, sementara  filsuf seperti al-Farabi menulis teori musik yang menggabungkan filsafat dan harmoni. Musik  tidak hanya berfungsi sebagai hiburan tetapi juga sebagai media spiritual dan budaya yang mendekatkan masyarakat.
Dengan dukungan  istana kerajaan dan keterbukaannya terhadap pengaruh budaya asing, Baghdad menjadi pusat utama seni, sastra, dan musik, tidak hanya mempromosikan budaya Islam tetapi juga memberikan kontribusi penting bagi pengembangan peradaban dunia.
Pada masa kejayaannya, Baghdad merupakan contoh hebat multikulturalisme, dengan berbagai suku bangsa dan agama hidup berdampingan dan berkontribusi terhadap pertumbuhan kota. Sebagai ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah, Baghdad menarik orang-orang dari seluruh dunia, termasuk orang Arab, Persia, Turki, Kurdi, Yahudi, Kristen, Zoroaster, dan komunitas lainnya. Keberagaman ini memperkaya budaya, ekonomi, dan ilmu pengetahuan kota, menjadikannya pusat peradaban dunia saat itu.
 Peran berbagai kelompok etnis tercermin dalam kontribusi mereka terhadap pemerintahan, militer, dan perdagangan. Misalnya, bangsa Persia memainkan peran kunci dalam administrasi negara dan bangsa Turki terlibat aktif dalam militer Abbasiyah. Selain itu, para pedagang dari India, Cina, dan Afrika membawa barang-barang dan ide-ide baru, yang mendorong perkembangan ekonomi dan inovasi Baghdad.
 Dari sudut pandang agama, sikap Kekhalifahan Abbasiyah yang relatif toleran menciptakan suasana harmonis di mana berbagai komunitas agama dapat hidup berdampingan. Misalnya, umat Kristen Nestorian memainkan peran kunci dalam penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab di Baitul Hikma, yang menjadi dasar keilmuan Islam. Komunitas Yahudi juga aktif dalam perdagangan, pengobatan, dan pemerintahan. Meskipun umat Islam merupakan mayoritas, kaum minoritas agama juga memainkan peran penting dalam membangun infrastruktur intelektual dan sosial Baghdad.
 Multikulturalisme ini telah memperkaya seni, sastra, dan tradisi lokal Bagdad. Perpaduan budaya daerah yang berbeda menciptakan lingkungan kreatif untuk inovasi di berbagai bidang. Meskipun ada tantangan dan ketegangan yang kadang terjadi, multikulturalisme Bagdad berfungsi sebagai model penting dari keberagaman yang produktif dan harmonis dalam sejarah peradaban manusia.
2. Kejatuhan Baghdad
Jatuhnya Baghdad pada tahun 1258  ditandai oleh sejumlah faktor internal dan eksternal yang melemahkan kekuatan kota tersebut sebagai pusat peradaban Islam. Salah satu faktor utamanya adalah kemunduran politik Kekhalifahan Abbasiyah. Selama abad-abad terakhir kekuasaan mereka, Abbasiyah kehilangan kendali efektif atas banyak wilayah mereka, yang kemudian digantikan oleh penguasa lokal dan dinasti yang lebih kecil seperti Seljuk dan Fatimiyah. didominasi oleh Konflik internal, perebutan kekuasaan, dan melemahnya kekhalifahan telah membuat pemerintahan Baghdad  rentan terhadap ancaman eksternal.
Faktor eksternal terbesar adalah invasi tentara Mongol yang dipimpin oleh Hllg Khan. Bangsa Mongol, yang terkenal dengan peperangan brutal dan kehancuran besar-besaran, mengepung Bagdad pada musim semi tahun 1258. Bagdad tidak mempunyai kekuatan pertahanan militer yang  kuat untuk menahan serangan ini, antara lain karena tentara Abbasiyah kurang terkoordinasi. Setelah serangan yang berlangsung kurang dari dua minggu, Bagdad jatuh dan ribuan penduduknya dibantai. Hrg Khan juga memerintahkan penghancuran besar-besaran, termasuk pembakaran Rumah Kebijaksanaan, yang mengakibatkan hilangnya ribuan manuskrip berharga yang berisi  pengetahuan dan warisan budaya Islam.