Memasuki tahun 2020, wabah virus corona telah menyebar di seluruh wilayah Indonesia. Virus corona atau dikenal Covid-19 tergolong virus yang penularan sangat mudah dan cepat. Bahkan hingga saat ini kasusnya masih terus melonjak. Hal tersebut mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan guna meminimalisir penyebaran virus Covid-19.
Guna menekan persebaran Covid-19, pemerintah menerapkan banyak kebijakan diantaranya pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar. Yang berarti segala kegiatan yang dilakukan masyarakat diluar rumah mau tidak mau harus dihentikan. Akan tetapi, karena banyak sektor yang terkena imbasnya akibat kegiatan terhenti. Salah satu sektor yang sangat terpukul ialah ekonomi. Padahal pada jangka pemberlakuan PSBB berlangsung, persebaran Covid-19 dapat ditekan. Hingga secara tidak langsung membentuk pula stigma dalam masyarakat mengenai kesadaran terkait bahaya pandemi ini. Akibatnya ketika kebijakan ini berlaku, kemacetan dijalan yang menjadi pemandangan setiap harinya seolah hilang. Terbukti kebijakan ini secara langsung juga berdampak baik terhadap lingkungan, dimana polusi akibat kendaraan berkurang.
Namun demi memperkuat perekonomian di Indonesia, pemerintah mempertaruhkan nyawa masyarakat dengan menerapkan new normal dengan segala protokol kesehatan yang serba terbatas. Keadaan ini masyarakat bisa beraktivitas seperti biasa di luar rumah. Pada realitanya setelah new normal ini diimplementasikan, penyebaran kasus Covid-19 semakin meningkat. Bahkan kepedulian masyarakat mengenai bahaya pandemi semakin hari semakin memudar.
Berdasarkan data Johns Hopkins University Center for Systems Science and Enginering (JHU CSSE) mengenai persebaran kasus pasien positif di Indonesia sampai pada 5 Mei 2020 saat PSBB berlangsung, kasus dapat ditekan setidaknya ada 484 pasien. Namun setelah fase new normal di berlakukan, kasus penyebaran Covid-19 terus meningkat. Hal ini juga dapat disebabkan oleh tidak konsistenya kebijakan mengenai penanganan Covid-19, dan juga semakin minimnya literatur mengenai bahaya virus ini. Sehingga membuat masyarakatpun semakin hari juga memiliki respon yang biasa dalam menanggapi keadaan semacam ini. Hingga puncaknya pada 3 Desember 2020, dimana terdapat 8.369 kasus baru.
Media dalam masa saat ini, semestinya mampu mengkomunikasikan kasus penyebaran Covid-19. Masyarakat saat ini masih memerlukan adanya edukasi secara terus menerus mengenai bahaya Covid-19. Namun ketika media terlalu sering memuat atau merespon berita Covid-19, mereka malah mendapat kritik karena dinilai dapat membuat masyarakat semakin panik. Pada dasarnya edukasi dapat dilakukan di media dengan cara yang kreatif sehingga mampu mempersuasi masyarakat. Konsep media sebagai determinisme teknologi menurut teori Computer Mediated Communication dianggap mampu mempengaruhi awareness masyarakat yang mengkonsumsi konten. Iklan layanan masyarakat mengangkat isu pandemi yang pada dasarnya diperlukan juga masih minim untuk dibuat.
Bagaimana nasib tenaga medis yang terus berjuang? Bahkan tidak sedikit dari mereka yang tumbang. Menengok makin hari semakin menurun kepedulian masyarakat berbanding terbalik seiring peningkatan kasus pasien positif yang terus meningkat. Melihat kerumunan sudah menjadi hal wajar kembali. Social distancing yang sempat digalakan seolah sirna ketika maraknya sering terjadinya massa berkumpul adanya aktivitas organisasi masyarakat bahkan demonstrasi. Akan tetapi pemerintah seolah sudah tidak peduli mengenai pandemi. Kebijakan mulai terlupa, ekonomi menjadi prioritas, membuat tenaga kesehatan menjadi terlena.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H