Adalah Emil Elistianto Dardak, Wakil Gubernur Jawa Timur yang merespon hangat gagasan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nadiem Makarim tentang penyederhanaan beban administratif para guru.Â
Menurutnya, tugas - tugas menggunung yang dipikulkan kepada para guru memang terlalu menyesakkan. Guru tak lagi bisa berasyik masyuk untuk larut dalam pembelajaran, tapi merasakan kepengapan oleh beban berat yang menghimpit.
Selama ini guru belum bisa mengaktualisasikan diri dalam pembelajaran. Guru terkungkung oleh teks book thinking, linear, dan tidak mampu mengembangkan sayap pembelajaran yang menyenangkan. Malah pembelajaran  terkesan kaku dan jumud. Inovasi mati, kreatifitas tak ada lagi. Energi telah terkuras sebelum mengajar untuk memenuhi tugas - tugas yang tersurat (  bukti fisik ) dalam keseharian.
Kalau mau jujur, tugas guru tak hanya di sekolah. Saat dirumahpun, guru harus menyibukkan diri dengan kerja - kerja administratif. Guru seperti kekurangan waktu.Â
Hampir tak bisa dibedakan antara aktifitas kedinasan dan acara keluarga. Saat liburanpun  guru masih dibelit oleh persoalan yang sama. Sebuah persoalan yang rigid dan rumit.
Pada sambutan Pembukaan Konferensi Provinsi Persatuan Guru Republik Indonesia ( PGRI ) Jawa Timur di Hotel Mercure Surabaya 27 - 29 Desember 2019, Emil Elistianto Dardak sedikit membedah gagasan Mendikbud tentang penyederhanaan administratif para guru. Dengan kasat mata suami Arumi Bachin itu menyatakan keberpihakannya pada nasib para guru.
Respon Wagub Emil, yang merepresentasikan suara pemerintah Provinsi Jawa Timur tidak terlalu berlebihan, sebab naluri keberpihakannya, sudah terpatri sejak ia menjabat sebagai Bupati Trenggalek. Ketika banyak orang berdebat tentang tuntutan guru honorer, sebagian masyarakat malah ada yang memojokkan tenaga sukarelawan itu.Â
Bahkan muncul sinisme, "salah sendiri kenapa  mau menjadi guru honorer, sudah tahu honornya kecil". Sebuah kalimat yang tendensius dan menyakitkan.Â
Tapi jawaban Emil justru tampil dengan frase yang menyejukkan. Ia mampu menorobos kebuntuan, menunjukkan keberpihakan kepada guru honorer, "mari kita berhenti berdebat tentang guru honorer, sebab masa depan bangsa ini ada pada guru", tukas Emil cukup tajam. Sebuah pilihan jawaban yang brilian dan mematikan.
Penyederhanaan administrasi guru, merupakan wujud otokritik pemerintah, karena selama ini dirasakan banyak menyita para guru untuk menulis. Sebenarnya otokritik ini sudah muncul beberapa tahun belakangan ini. Bahkan kritik ini keluar dari lisan Presiden Joko Widodo.Â
Dalam berbagai kesempatan, Presiden senantiasa mewanti --wanti untuk tidak membebani para guru dengan administrasi yang segudang. Akan tetapi statement Presiden seperti berlalu begitu saja. Belum ada yang berani mengeksekusi dengan sebuah regulasi.
Ketika para guru berhadapan dengan waktu yang sempit, sementara target kurikulum masih segudang, guru akan diburu oleh waktu, Guru akan lebih banyak mengajar dengan penekanan ilmu pengetahuan ( kognitif ) dibandingkan mengembangkan sisi afektif ( sikap ) dan psikomotor ( keterampilan).Â
Dampak lanjutan yang dirasakan adalah anak cerdas dalam menghafal ilmu pengetahuan, tapi miskin dalam keterampilan demonstratif penguasaan ilmu pengetahuan.Â
Pada saat bersamaan, banyak guru mengajar mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam ( IPA ), lebih bernafas sastra IPA dari pada keterampilan IPA. Inilah sebenarnya yang perlu digelorakan, bagaimana Ilmu Pengetahuan Alam ( IPA ) sebagai keterampilan daripada sebagai ilmu pengetahuan. Ini hanya salah satu contoh kecil yang perlu pembenahan dan penyempurnaan.
Idealnya, para guru akan lebih banyak menunjukkan kemahiran tentang tema yang disampaikan. Â Kalau guru piawai mendemonstrasikan berbagai perangkat, alat peraga di ruang laboratorium, Â atau membawa anak langsung ke alam terbuka untuk mengamati kebenaran hakiki sebuah ilmu, kita yakin anak - anak kita akan juga mampu mendemonstrasikan tema - tema yang dijelaskan guru. Ada aspek afektif dan psikomotorik yang menonjol disana.
Menurut Howard Gardner dalam Teory of Multiple Intelegence, anak memiliki kecerdasan majemuk. Kecerdasan linguistik, matematis - logis, visual, musical, kinestetis, interpersonal, intrapersonal, naturalis, dan spiritual. Mengingat setiap anak memiliki jenis kecerdasan yang berbeda, dengan sendirinya kita akan memberi perlakukan dan mengapresiasi kecerdasan yang dimiliki anak dengan sudut pandang yang berbeda.Â
Disinilah diperlukan kecermatan dalam memberikan assessment yang sesuai. Assesment sebagai proses untuk mengetahui kemampuan seseorang terhadap suatu kompetensi berdasarkan bukti -- bukti.
Setelah kran keterbukaan begitu besar, ruang berekspresi dan berinovasi sangat lebar, para guru akan dimanjakan oleh waktu yang luas untuk berkreasi.Â
Maka bagaimana  menangkap peluang ini untuk mengisi dengan sebaik --baiknya. Ada harapan yang cukup mahal dari penyederhanaan adminstratif ini adalah pembentukan karakter. Setali tiga uang antara Mendikbud Nadiem dan Presiden Jokowi memiliki komitment yang sama tentang kemampuan anak yang diharapkan.Â
Anak diharapkan siap kerja siap berkarya. Adakah kita sudah bersiap - siap mengisi ruang - ruang kosong yang ditinggalkan sebagai dampak pengurangan beban administrasi?
Dalam hal ini urgensi seorang guru untuk terus belajar dan menjadi pembelajar tiada henti sangat diperlukan. Menjadi guru penggerak adalah bagaimana memaksimalkan peran sentral para guru untuk mengembangkan potensi yang dimiliki anak. Sebab anak, bukanlah kertas kosong yg tidak memiliki kemampuan apa - apa.Â
Mereka justru telah dipersiapkan oleh Allah dengan, mutiple intelegence ( kecerdasan majemuk ) sebagai bekal untuk memasuki kehidupan sebenarnya saat dia dewasa.
Dalam rentang waktu pengabdian yang cukup panjang, saya mengamati, banyak anak yang memiliki multi talenta. Seorang anak yang memiliki bakat berkesenian, pada saat yang sama ia memiliki kelebihan di bidang olah raga. Jika bakat itu bertemu dengan para guru atau pelatih yang mumpuni anak akan berkembang dashyat dengan talenta yang dimilikinya.
Pada saatnya, ketika waktu tak lagi kita gunakan untuk memenuhi persoalan administrasi, kita harus siap mengisinya dengan ragam kegiatan yang menghebohkan.Â
Waktu yang demikian banyak disediakan, kita pergunakan untuk mensukseskan gerakan merdeka belajar, merdeka mengajar, dan merdeka berpendapat yang sebenarnya.Â
Jangan sampai ketika peluang sudah diberikan kita malah menelantarkan. Ketika pemerintah sudah bersemangat memangkas regulasi yang kurang bergizi, kini terpulang kepada para guru untuk mengisi. Apakah para guru berminat untuk memenuhi dengan aktifitas pembelajaran yang mengasyikkan ? Atau kita masih terbuai dengan gaya mengajar yang sudah usang? Semua terserah kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H