Pemilihan Presiden (Pilpres) sudah hampir menjelang. Akan tetapi ada yang beda dengan Pilpres kali ini yakni mendominasinya topik Black Campaign atau kampanye hitam antara kedua kubu capres-cawapres yakni Joko Widodo – Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa. Alih-alih mengedepankan visi, misi, dan program untuk menarik hati rakyat, malah kampanye hitam yang santer terdengar. Tak sadarkah mereka bahwa Black Campaign itu tidak efektif?
Beberapa topik kampanye hitam di Pilpres 2014 ini pada umumnya mengarah ke sosok Joko Widodo alias Jokowi. Beberapa isu seperti Jokowi itu keturunan Tionghoa Solo, terus Jokowi itu bukan beragama Islam, atau Jokowi itu tamak kekuasaan menjadi amunisi dalam kampanye hitam kali ini. Sedangkan kampanye hitam ke kubu seberangnya, yaitu pak Prabowo juga ada akan tetapi tidak segencar yang mengarah ke pak Jokowi.
Pada dialog di program Prime Time Metro TV semalam, pakar komunikasi, Prof Cipta, mengatakan bahwa Black Campaign atau kampanye itu sama sekali tidak efektif untuk menjatuhkan lawan politik. Bahkan beliau sampai mengatakan para pelaku Black Campaign itu bodoh dan tidak paham teori-teori ilmu komunikasi. Sebab dalam sejarahnya, tak pernah kampanye hitam memberikan dampak positif pada pihak yang melancarkannya. Malam cenderung merugikan pihak sendiri, apalagi dengan psikologis bangsa Indonesia yang simpatik dengan korban.
Masih menurut Prof Cipta, ada dua alasan biasanya yang menyebabkan individu atau kelompok melakukan Black Campaign. Pertama, karena mereka tidak paham dengan teori-teori dalam ilmu komunikasi yang mengatakan bahwa Black Campaign itu tak pernah efektif untuk mendongkrak dukungan. Alasan lainnya adalah mereka sudah merasa kalahs ebelum bertanding dan tak menemukan cara lain untuk menang dari pihak yang diserang dengan Black Campaign.
Kita juga harus dapat membedakan antara terminologi kampanye hitam dan kampanye negatif. Kampanye hitam biasanya hanya berupa fitnah dari sumber-sumber tak jelas yang menebas langsung ke karakter seseorang. Sedangkan kampanye negatif agak lebih objektif dengan mengungkapkan data mengenai kekurangan pihak lawan dan argumentasi yang logis. Meski perlu dicatat bahwa efektivitas keduanya tetap diragukan sebab jauh hari pun pada umumnya kita sudah menentukan pilihan tanpa perlu terganggu oleh kampanye hitam atau kampanye negatif.
Kampanye negatif, selama masih didasari olehf akta dan disampaikan secara santun sebetulnya tak jadi soal. Misal contoh kampanye negatif adalah tudingan bahwa pak Jokowi tak amanahd engan meninggalkan jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta, janji-janji mengatasi kemacetan serta banjir yang belum tuntas, serta hal-hal lainnya. Benar memang semua itu fakta dan dapat dijadikan alasan untuk menjatuhkan pihak lawan. Akan tetapi disesalkan pula apabila hanya dari sisi negatifnya saja yang dilihat, tak mau menimbang alasan logis lainnya.
Dari status seorang teman di Facebook, dia coba menjabarkan salah satu kampanye negatif pada pak Jokowi yang dikatakan tak amanah sebagai gubernur DKI Jakarta. Pemikiran pertama yakni pak Jokowi tidak amanah karena janji jabatannya yaitu untuk memimpin kota Jakarta selama lima tahun tidak dipenuhi dan masalah-masalah kota Jakarta masih belum tuntas. Sedangkan pemikiran berikutnya melihat pak Jokowi sebagai peluang yang coba diambil salah satu anak terbaik bangsa untuk mengemban amanah lebih besar dari sebelumnya sebatas kota Jakarta, menjadi pengabdian untuk ke seluruh rakyat Indonesia. Memang tak salah jika banyak orangyang mengambil pemikiran pertama, tapi sayang sekali jika pemikiran kedua tidak diambil sebagai peluang yang patut dipertimbangkan.
Saya juga menyayangkan maraknya kampanye hitam dan pemampangan kebencian yang berlebihan dan dilakukan via social media pada salah satu kandidat. Apa untungnya kita mempertontonkan rasa benci selain hanya menebar aura negatif dan merugikan diri sendiri? Ini mengapa saya katakan di awal bahwa Pemilu kali ini agak “aneh”. Sebab alih-alih memilih satu kandidat karena sejuta kelebihan beserta visi, misi, serta programnya, kita didorong untuk memilihnya karena kebencian serta pemaparan mengenai keburukan serta kekurangan karakter kandidat lainnya, yang itupun kadang tak jelas sumbernya. Seakan-akan kita harus memilih yang tidak lebih buruk dariyang terburuk, terkesan bangsa ini sudah rusak sekali.
Lebih jauh, kita kadang menyebarkan Black Campaign hanya karena ikut-ikutan saja. Karena retwit dan klik tombol like begitumudahnya, jadi tak sadar dampak apa yang sudah kita turut berkontribusi di dalamnya. Menurut Soe Hok Gie, dalam situasi politik yang seperti ini, pemuda harus punya konsepsi. Tanpa konsepsi, kita hanya akan jadi retwitter dari kampanye-kampanye hitam dengan sumber tak jelas.
Saya juga tak habis fikir, apa sebetulnya tujuan kita sebagai bangsa dengan adanya Pemilu ini? Apakah Pemilu betul-betul dijadikan ajang untuk mencari pemimpin terbaik, atau hanya memilih yang agak kurang baik dari yang paling tidak baik? Apabila tujuan kita adalah memang ingin ikut membangun bangsa, janganlah ada kebencian berlebihan pada satu kandidat. Misal kandidat yang dibenci tersebut malah menang, pasti ada rasa keki untuk ikut mendukung pemerintahannya kelak. Padahal negara ini butuh segala potensi yang dimiliki rakyatnya untuk menjadi sejahtera.
Pengalaman kecil pada saat kuliah dulu, pernah menjadi tim sukes untuk salah satu kandidat ketua BEM UI yang ternyata kalah. Akan tetapi karena memang niatnya untuk ikut kontribusi bagi sesama mahasiswa, tak ada keraguan untuk ikut open tender kepala departemen di kepemimpinan ketua BEM terpilih, yang notabenya jadi lawan saat Pemira.
Sebagai kaum muda dan terpelajar, jangan pupuk rasa kebencian yang berlebih, hargai perjuanganmu mencari ilmu dengan tidak ikut-ikutan kampanye hitam. Sebagai kaum intelektual bangsa, pahami bahwa persaingan dalam pemilihan presiden kali ini adalah wujud para anak terbaik bangsa yang ingin mengabdi bagi negerinya. Jangan batasi dirimu dengan membenci salah satu kandidat dan menutup kemungkinan kamu berkontribusi bagi bangsa dengan semua potensi yang dimiliki. Kita tentu sudah punya preferensi pilihan dengan berbagai alasan yang mendasarinya, tapi letakanlah di atas semua itu adalah tujuan untuk berbuat sesuatu bagi bangsa dan negara, siapapun yang terpilih kelak.
Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan lagi seruan Soe Hok Gie agar sebagai kaum intelektual, sikap politik jangan didasari oleh kepentingan kelompok atau golongan tertentu. Sikap seperti itu hanya akan membatasi diri dan mempertajam rasa kebencian pada kelompok lainnya. Akan sangat mudah mencari-carikesalahan pihak lawan apabila sudah didasari dengan rasa kebencian antarkelompok. Mari berfikir lebih jerni, pilihlah dengan hati, demi Indonesia tercinta.(DPM)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H