Demokrasi Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan yang krusial. Di satu sisi, survei pada Februari 2024 menunjukkan bahwa 70,7% responden menilai kinerja demokrasi di Indonesia sangat baik. Hal ini menunjukkan adanya optimisme terhadap sistem demokrasi yang diterapkan di negara ini. Namun, di sisi lain, data dari V-Dem Institute menunjukkan tren yang mengkhawatirkan: indeks demokrasi Indonesia menurun dari 0,53 pada tahun 2004 menjadi 0,42 pada tahun 2022. Penurunan ini mengindikasikan bahwa meskipun secara kasatmata demokrasi terlihat berjalan dengan baik, ada tantangan mendasar yang mengancam kualitasnya.
Salah satu tantangan utama dalam demokrasi Indonesia adalah melemahnya peran oposisi politik. MPR RI, menyoroti perlunya evaluasi dan perbaikan dalam implementasi sistem demokrasi dan kehidupan ketatanegaraan di Indonesia. Oposisi yang kuat sangat penting dalam sistem demokrasi karena berfungsi sebagai mekanisme checks and balances untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Jika oposisi melemah, maka pengawasan terhadap kebijakan pemerintah menjadi tidak efektif, yang pada akhirnya dapat membuka jalan bagi penyalahgunaan kekuasaan dan kecenderungan otoritarianisme.
Dalam konteks inilah Marhaenisme menjadi relevan. Marhaenisme adalah ideologi yang diperkenalkan oleh Bung Karno dan menekankan kemandirian ekonomi rakyat kecil, keadilan sosial, serta penolakan terhadap eksploitasi. Dengan memberdayakan rakyat kecil dan memastikan partisipasi mereka dalam proses politik, Marhaenisme dapat memperkuat fondasi demokrasi Indonesia. Demokrasi yang sehat tidak hanya membutuhkan partisipasi elite politik, tetapi juga keterlibatan aktif dari seluruh elemen masyarakat, khususnya kaum marhaen---petani, buruh, dan rakyat kecil yang selama ini sering termarjinalkan dalam proses pengambilan keputusan politik.
Namun, tantangan terhadap demokrasi tidak hanya berasal dari faktor internal, tetapi juga dari kebijakan yang berpotensi membatasi partisipasi politik rakyat. Baru-baru ini, Presiden Prabowo Subianto mengusulkan penghapusan pemilihan kepala daerah secara langsung dengan alasan efisiensi biaya. Meskipun argumen penghematan anggaran bisa dimengerti, kebijakan ini berisiko mereduksi keterlibatan publik dalam memilih pemimpinnya sendiri. Jika mekanisme pemilihan kembali dikendalikan oleh DPRD atau mekanisme lainnya yang lebih sentralistik, maka demokrasi akan semakin menjauh dari prinsip kedaulatan rakyat.
Selain itu, perluasan peran militer dalam fungsi sipil juga menjadi perhatian serius. Misalnya, kebijakan melibatkan militer dalam program makanan gratis untuk sekolah dan proyek pertanian. Meskipun di permukaan terlihat sebagai langkah yang positif, ada kekhawatiran bahwa hal ini dapat menghidupkan kembali dwifungsi ABRI---sebuah praktik dari era Orde Baru di mana militer memiliki peran dominan dalam pemerintahan sipil. Dalam sistem demokrasi yang sehat, pemisahan antara otoritas sipil dan militer harus tetap dijaga untuk menghindari militerisasi dalam kebijakan publik.
Di tengah tantangan ini, prinsip-prinsip Marhaenisme dapat menjadi solusi untuk memperkuat demokrasi. Salah satu aspek penting dalam Marhaenisme adalah pemberdayaan ekonomi rakyat kecil. Dengan memberikan akses yang lebih luas terhadap modal, pendidikan, dan pasar, rakyat kecil dapat lebih mandiri secara ekonomi dan tidak mudah dimanipulasi oleh elite politik. Ketika rakyat kecil memiliki kemandirian ekonomi, mereka juga akan lebih berani untuk bersuara dalam politik, sehingga menciptakan demokrasi yang lebih partisipatif dan berorientasi pada keadilan sosial.
Selain itu, Marhaenisme juga menekankan pentingnya gotong royong dan solidaritas sosial. Dalam sistem politik yang semakin terfragmentasi oleh polarisasi, nilai-nilai kebersamaan dan persatuan menjadi krusial untuk menjaga stabilitas demokrasi. Marhaenisme mengajarkan bahwa rakyat harus saling bahu-membahu dalam membangun bangsa, bukan justru saling menjatuhkan demi kepentingan politik jangka pendek.
Namun, implementasi Marhaenisme dalam konteks modern tidak bisa dilakukan secara kaku. Globalisasi dan kemajuan teknologi telah mengubah lanskap ekonomi dan politik secara signifikan. Oleh karena itu, Marhaenisme harus diadaptasi agar tetap relevan dengan tantangan zaman, tanpa meninggalkan esensi perjuangannya. Misalnya, dalam era digital, pemberdayaan ekonomi rakyat kecil tidak hanya terbatas pada sektor agraris atau industri kecil, tetapi juga harus merambah ke sektor ekonomi kreatif dan teknologi digital.
Pendidikan politik juga menjadi faktor kunci dalam memperkuat demokrasi. Salah satu tantangan utama yang dihadapi demokrasi Indonesia saat ini adalah rendahnya literasi politik di kalangan masyarakat. Banyak rakyat kecil yang masih belum memahami hak-hak politiknya, sehingga mudah dimobilisasi oleh elite politik untuk kepentingan sesaat. Dengan meningkatkan pendidikan politik berbasis nilai-nilai Marhaenisme, rakyat akan lebih sadar akan peran mereka dalam demokrasi dan tidak mudah terpengaruh oleh politik transaksional atau politik identitas yang memecah belah.
Selain itu, reformasi institusional juga sangat dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan dalam sistem politik. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain adalah memperkuat peran oposisi, memastikan independensi lembaga yudikatif, serta mencegah konsentrasi kekuasaan di satu pihak. Demokrasi yang kuat membutuhkan institusi yang berfungsi dengan baik, bukan hanya bergantung pada goodwill dari pemimpin yang sedang berkuasa.