Mohon tunggu...
dimas muhammad erlangga
dimas muhammad erlangga Mohon Tunggu... Aktivis GmnI

Baca Buku Dan Jalan Jalan Live In

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Hikayat Kadiroen: Antara Nasionalisme, Kekuasaan, dan Kuasa Modal

31 Januari 2025   07:32 Diperbarui: 31 Januari 2025   07:32 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hikayat Kadiroen adalah novel yang ditulis oleh Semaoen pada tahun 1919 ketika ia berada di penjara akibat aktivitas politiknya. Novel ini berkisah tentang seorang priyayi bernama Kadiroen, yang awalnya bekerja sebagai mantri polisi dan kemudian menjadi wakil patih dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda. Seiring waktu, Kadiroen mulai menyadari bahwa upaya-upaya konvensional yang ia tempuh tidak cukup untuk mengatasi kemiskinan dan ketidakadilan yang menimpa rakyat pribumi.

Pencerahan datang kepadanya setelah ia mendengar pidato seorang propagandis Perkoempoelan Komunis bernama Tjitro, yang membahas tentang kapitalisme, perlunya kaum buruh berserikat, serta pentingnya perjuangan kolektif dalam menumbangkan sistem yang menindas rakyat kecil. Pidato ini membuat Kadiroen mempertanyakan perannya dalam struktur kekuasaan kolonial. Akhirnya, ia memilih meninggalkan jabatannya dan bergabung dengan gerakan perlawanan terhadap penindasan kolonial.

Novel ini tidak hanya menggambarkan transformasi pribadi Kadiroen tetapi juga menyajikan kritik tajam terhadap sistem kolonial yang saat itu masih bercokol di Indonesia. Semaoen menyoroti bagaimana para priyayi---yang seharusnya menjadi pelindung rakyat---justru lebih mementingkan kepentingan pribadi mereka, sehingga menjadi alat bagi penjajah untuk mempertahankan status quo. Melalui karakter Kadiroen, Semaoen menunjukkan bahwa perubahan sosial yang nyata hanya bisa terjadi jika rakyat memiliki kesadaran kelas dan keberanian untuk menentang sistem yang menindas mereka.

Relevansi Hikayat Kadiroen dalam Konteks Indonesia Modern

Lebih dari satu abad setelah Hikayat Kadiroen diterbitkan, tema-tema yang diangkat dalam novel ini masih relevan dalam politik dan ekonomi Indonesia saat ini. Oligarki, kekuasaan yang terkonsentrasi di tangan segelintir elite, serta dominasi kuasa modal masih menjadi realitas yang sulit dihindari.

Sebagai contoh, pada tahun 2025, Presiden Prabowo Subianto memperluas peran militer dalam fungsi sipil, sebuah langkah yang mengingatkan pada doktrin dwifungsi militer era Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto. Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran tentang mundurnya reformasi demokrasi yang telah diperjuangkan sejak jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998. Prabowo telah menugaskan militer untuk mengelola proyek makanan gratis senilai 28 miliar dolar AS serta program pertanian dan irigasi, yang secara signifikan meningkatkan keterlibatan militer dalam urusan sipil. Selain itu, sedang diproses legislasi yang memungkinkan perwira militer aktif untuk menduduki jabatan-jabatan sipil, yang semakin memperkuat dominasi militer dalam pemerintahan.

Pendukung kebijakan ini berargumen bahwa keterlibatan militer akan meningkatkan efisiensi birokrasi, sementara pihak yang menentang menganggapnya sebagai ancaman terhadap demokrasi dan pengawasan sipil terhadap kekuasaan negara. Dengan tingkat persetujuan Prabowo yang mencapai 81% serta koalisinya yang menguasai mayoritas di parlemen, kebijakan-kebijakan semacam ini cenderung sulit untuk dicegah.

Selain itu, pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo juga tengah berencana meluncurkan dana kekayaan negara (sovereign wealth fund) yang dikelola langsung oleh presiden. Dana ini bertujuan untuk mengkonsolidasikan perusahaan-perusahaan milik negara dengan aset hampir 570 miliar dolar AS guna membiayai proyek-proyek pemerintah dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, banyak pihak yang khawatir bahwa dana ini berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan politik tertentu. Kritik utama datang dari investor internasional yang menilai bahwa intervensi politik dalam pengelolaan dana ini dapat merusak sektor ekonomi negara dan mengurangi kredibilitas Indonesia di mata dunia.

Selain dominasi militer dan konsolidasi ekonomi di bawah kekuasaan negara, pemusatan kekuatan politik juga menjadi fenomena yang mencolok di Indonesia pasca-2024. Pemilihan kepala daerah serentak yang diadakan pada tahun 2024 disebut sebagai salah satu pemilu terbesar dalam sejarah Indonesia, dengan lebih dari 200 juta pemilih berpartisipasi dalam memilih 545 pemimpin lokal. Namun, kritik tajam muncul terhadap praktik kolusi politik yang menyebabkan hasil pemilu telah ditentukan sejak awal.

Di setidaknya 37 wilayah, hanya ada satu pasangan calon yang didukung oleh semua partai politik nasional yang berjumlah 11 partai. Hal ini mencerminkan semakin menipisnya ruang oposisi dalam sistem demokrasi Indonesia. Dengan kata lain, meskipun Indonesia menggelar pemilihan umum, realitas politiknya semakin menyerupai sistem politik yang dikuasai oleh oligarki, di mana hanya segelintir elite yang menentukan siapa yang akan berkuasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun