Pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka telah mencanangkan target ambisius untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8% per tahun. Target ini digadang-gadang sebagai strategi untuk membawa Indonesia ke level ekonomi yang lebih tinggi, dengan harapan dapat menciptakan lapangan kerja, meningkatkan daya beli masyarakat, serta mempercepat pemerataan kesejahteraan. Namun, pertanyaannya adalah, apakah target ini benar-benar realistis dan dapat memberikan dampak nyata bagi rakyat kecil?
Dari sudut pandang Marhaenisme---sebuah ideologi yang diperkenalkan oleh Bung Karno---pertumbuhan ekonomi tidak boleh hanya berfokus pada angka-angka makro, tetapi juga harus memastikan kesejahteraan bagi kaum kecil, petani, buruh, nelayan, dan pedagang kecil. Marhaenisme mengajarkan bahwa pembangunan ekonomi harus berbasis kerakyatan, di mana rakyat kecil tidak hanya menjadi objek pembangunan tetapi juga subjek utama dalam sistem ekonomi nasional. Dengan demikian, target pertumbuhan ekonomi 8% perlu dikaji secara kritis dalam perspektif Marhaenisme untuk melihat sejauh mana kebijakan ini dapat memberikan manfaat bagi rakyat kecil.
Strategi Mencapai Pertumbuhan Ekonomi 8%
Untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8%, pemerintahan Prabowo-Gibran merancang sejumlah strategi, yang mencakup peningkatan investasi, hilirisasi industri, pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), serta peningkatan kualitas sumber daya manusia. Salah satu rencana utama adalah mendatangkan investasi asing sebesar Rp2.000 triliun guna mempercepat pembangunan infrastruktur dan sektor industri strategis.
Namun, mendatangkan investasi sebesar itu bukanlah hal yang mudah. Selama dekade terakhir, pertumbuhan investasi nasional rata-rata hanya mencapai 6,6%, dan ada berbagai faktor yang mempengaruhi kelancaran arus investasi, seperti regulasi, stabilitas politik, dan daya saing tenaga kerja Indonesia. Jika investasi yang masuk tidak diarahkan dengan baik, maka besar kemungkinan bahwa keuntungan hanya akan dinikmati oleh korporasi besar dan bukan oleh rakyat kecil.
Di sisi lain, pemerintah juga menargetkan penguatan sektor hilirisasi industri, khususnya dalam pemanfaatan sumber daya alam seperti nikel dan batu bara. Hilirisasi diharapkan mampu menciptakan nilai tambah dan membuka lebih banyak lapangan kerja. Namun, jika kebijakan ini tidak disertai dengan perlindungan bagi tenaga kerja lokal dan regulasi yang adil bagi UMKM, maka yang terjadi adalah eksploitasi sumber daya yang hanya menguntungkan segelintir elite ekonomi.
Dampak terhadap Rakyat Kecil
Berdasarkan data terbaru, pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir stabil di kisaran 5%, namun belum sepenuhnya berdampak positif pada kesejahteraan rakyat kecil. Pada kuartal II 2024, konsumsi rumah tangga---yang merupakan kontributor utama pertumbuhan ekonomi---hanya tumbuh sebesar 4,91%, lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa daya beli masyarakat masih lemah, yang mengindikasikan bahwa manfaat pertumbuhan ekonomi belum merata.
Pemerintah memang telah merancang berbagai program sosial untuk membantu rakyat kecil, salah satunya adalah program makan bergizi gratis bagi 90 juta anak dan ibu hamil, yang bertujuan untuk mengurangi angka stunting. Dengan anggaran sebesar $28 miliar, program ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa depan. Namun, ada kekhawatiran mengenai keberlanjutan pendanaan program ini serta dampaknya terhadap keseimbangan fiskal negara. Jika program ini tidak didukung oleh kebijakan ekonomi yang kuat, maka manfaatnya hanya bersifat jangka pendek.
Dari perspektif Marhaenisme, pertumbuhan ekonomi yang tinggi harus diiringi dengan pemerataan kesejahteraan. Jika pertumbuhan 8% hanya menghasilkan keuntungan bagi elite ekonomi dan tidak memperbaiki kondisi hidup buruh, petani, dan nelayan, maka hal itu bertentangan dengan prinsip ekonomi kerakyatan yang diperjuangkan oleh Bung Karno.