Tahun 2025 menandai peringatan 70 tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA), yang digelar pada tahun 1955 di Bandung, Indonesia. Sebagai salah satu peristiwa bersejarah terbesar dalam abad ke-20, KAA menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme yang menindas banyak negara di Asia dan Afrika. Konferensi ini tidak hanya memberikan ruang bagi negara-negara yang baru merdeka untuk bersuara, tetapi juga menegaskan dukungan kolektif terhadap bangsa Palestina, yang hingga kini masih memperjuangkan kemerdekaan. Dalam refleksi peringatan 70 tahun ini, penting untuk mengingat bagaimana semangat KAA dapat terus menjadi pendorong dalam menyelesaikan persoalan Palestina yang belum selesai hingga hari ini.
Konferensi Asia-Afrika 1955: Awal Solidaritas Global untuk Palestina
Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 dihadiri oleh 29 negara yang terdiri dari negara-negara Asia dan Afrika. Meski fokus utamanya adalah perlawanan terhadap kolonialisme, isu Palestina mendapat perhatian khusus dalam pembahasan. Para pemimpin negara peserta, seperti Presiden Soekarno dari Indonesia, Jawaharlal Nehru dari India, Gamal Abdel Nasser dari Mesir, dan Zhou Enlai dari Tiongkok, menyerukan solidaritas terhadap perjuangan rakyat Palestina yang saat itu menghadapi kolonisasi dan pendudukan oleh Zionisme internasional.
Deklarasi Bandung yang dihasilkan dalam konferensi ini menyatakan dukungan penuh terhadap hak-hak bangsa Palestina. Dokumen ini menegaskan bahwa semua bangsa memiliki hak yang sama untuk menentukan nasibnya sendiri, bebas dari segala bentuk kolonialisme, termasuk di wilayah Palestina. Pernyataan ini menjadi dasar solidaritas internasional yang terus digaungkan hingga kini.
Indonesia dan Perjuangan untuk Palestina
Sebagai tuan rumah KAA, Indonesia memiliki hubungan emosional dan historis yang kuat dengan Palestina. Dukungan terhadap Palestina sebenarnya sudah dimulai jauh sebelum KAA. Pada tahun 1937, rakyat Indonesia melalui organisasi seperti Komite Penolong Palestina mengumpulkan dana untuk membantu korban konflik di Palestina. Setelah Indonesia merdeka, komitmen tersebut diterjemahkan dalam kebijakan luar negeri yang konsisten mendukung Palestina di berbagai forum internasional.
Presiden Soekarno bahkan menolak untuk mengakui keberadaan Israel sebagai negara selama bangsa Palestina belum mendapatkan kemerdekaannya. Pada tahun 2013, dalam peringatan ke-58 KAA, Indonesia mengumumkan program pelatihan untuk 1.000 warga Palestina dalam berbagai bidang, sebagai bagian dari upaya membantu Palestina mempersiapkan diri sebagai negara merdeka. Langkah ini menunjukkan bahwa dukungan Indonesia terhadap Palestina bukan hanya simbolis, tetapi juga konkret dan berkelanjutan.
Kondisi Terkini Palestina: Masalah yang Belum Terselesaikan
Hingga 2025, Palestina masih berada dalam situasi yang jauh dari harapan. Menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sekitar 5,4 juta pengungsi Palestina masih tersebar di berbagai negara. Di Jalur Gaza, yang dikenal sebagai "penjara terbuka terbesar di dunia," kondisi kemanusiaan semakin memburuk akibat blokade yang berlangsung selama lebih dari 15 tahun. Tingkat pengangguran di Gaza mencapai 45%, sementara 80% penduduknya bergantung pada bantuan kemanusiaan.
Selain itu, perluasan permukiman ilegal Israel di Tepi Barat terus berlanjut. Data dari organisasi hak asasi manusia menunjukkan bahwa antara tahun 2020 hingga 2024, lebih dari 12.000 rumah Palestina dihancurkan, menyebabkan ribuan keluarga kehilangan tempat tinggal. Semua ini mencerminkan realitas pahit yang dihadapi rakyat Palestina, yang belum merasakan kemerdekaan meskipun dukungan internasional terus mengalir.