Dalam beberapa tahun terakhir, beban yang ditanggung oleh rakyat Indonesia, khususnya golongan marhaen, semakin berat. Marhaen, sebagai simbol rakyat kecil yang bekerja keras demi mencukupi kebutuhan sehari-hari, menghadapi berbagai tantangan yang kian kompleks. Ironisnya, di tengah kesulitan yang mereka hadapi, praktik korupsi justru semakin merajalela. Situasi ini menciptakan paradoks yang mengkhawatirkan: ketika rakyat berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar, segelintir elit justru memperkaya diri melalui tindakan koruptif.
Beban Ekonomi yang Kian Berat
Tekanan ekonomi yang dirasakan rakyat marhaen bukanlah isapan jempol belaka. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada triwulan II tahun 2024, perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,05% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Namun, pertumbuhan ini tidak diiringi dengan pemerataan manfaat. Rakyat kecil masih terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Kenaikan harga kebutuhan pokok, biaya pendidikan yang kian mahal, dan layanan kesehatan yang sulit diakses menjadi tantangan utama.
Selain itu, tingkat pengangguran yang masih tinggi menambah beban. Banyak pekerja yang terpaksa menerima upah rendah tanpa jaminan sosial, sementara biaya hidup terus meningkat. Belum lagi, ketergantungan pada sektor informal menjadikan posisi tawar mereka semakin lemah. Situasi ini diperparah oleh dampak pandemi yang masih membayangi, memengaruhi daya beli dan stabilitas ekonomi keluarga.
Korupsi Merajalela di Tengah Penderitaan
Di tengah situasi tersebut, korupsi menjadi momok yang terus menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa. Kejaksaan Agung mencatat bahwa sepanjang tahun 2024, kerugian negara akibat tindak pidana korupsi mencapai Rp310,61 triliun. Bahkan, ada laporan penyitaan barang bukti berupa 58,135 kilogram emas dari kasus-kasus besar. Salah satu kasus yang menyita perhatian adalah dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di PT Timah Tbk, dengan kerugian negara diperkirakan mencapai Rp300 triliun.
Tak hanya itu, Data sepanjang tahun 2024, terdapat 1.280 kasus korupsi yang diusut, dengan 830 orang ditetapkan sebagai tersangka. Jumlah ini mengindikasikan bahwa korupsi masih menjadi penyakit akut yang sulit diberantas. Pelaku korupsi bukan hanya pejabat pemerintah, tetapi juga melibatkan berbagai pihak dalam lingkaran kekuasaan.
Dampak Korupsi bagi Rakyat Kecil
Praktik korupsi memiliki dampak langsung terhadap kehidupan rakyat marhaen. Anggaran negara yang seharusnya digunakan untuk membangun infrastruktur, meningkatkan kualitas pendidikan, dan menyediakan layanan kesehatan, justru dialokasikan untuk kepentingan pribadi para koruptor. Akibatnya, kualitas layanan publik yang diterima rakyat menjadi jauh dari standar.
Misalnya, di sektor pendidikan, korupsi menyebabkan alokasi anggaran yang tidak tepat sasaran. Sekolah-sekolah di daerah terpencil kekurangan fasilitas, sementara gedung-gedung mewah untuk kepentingan pejabat terus bermunculan. Dalam bidang kesehatan, korupsi mengakibatkan banyak rumah sakit yang kekurangan alat medis, sehingga rakyat kecil harus mengeluarkan biaya tambahan untuk mendapatkan perawatan yang layak.