Program transmigrasi, sejak dicanangkan pada era Orde Baru, telah menjadi salah satu strategi pemerintah Indonesia untuk mengurangi kepadatan penduduk di Jawa, Bali, dan Lombok, sekaligus mendistribusikan pembangunan ke wilayah-wilayah lain, termasuk Papua. Namun, penerapan program ini di Papua (yang akan dihidupkan kembali Pada Pemerintahan Prabowo-Gibran) kerap menuai kontroversi, baik dari aspek sosial, ekonomi, maupun politik. Dalam perspektif Marhaenisme, transmigrasi harus dipertimbangkan sebagai bagian dari upaya membangun keadilan sosial dan memberdayakan rakyat kecil, namun apakah realitas di lapangan sejalan dengan prinsip tersebut?
### **Tujuan dan Realitas Program Transmigrasi**
Secara resmi, program transmigrasi bertujuan untuk mengurangi kemiskinan, mengatasi pengangguran, serta mempercepat pembangunan di daerah tujuan transmigrasi. Berdasarkan data tahun 2023, sekitar 8 juta jiwa telah dipindahkan ke luar Jawa sejak program ini dimulai. Dari jumlah tersebut, sekitar 400 ribu jiwa ditempatkan di Papua. Pemerintah mengklaim bahwa transmigrasi telah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi di wilayah tujuan, termasuk Papua, dengan menciptakan lapangan kerja baru dan mendorong peningkatan produksi pertanian.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan program ini tidak selalu berjalan mulus. Di Papua, transmigrasi sering kali memunculkan masalah sosial, seperti konflik lahan dengan masyarakat adat, marginalisasi ekonomi penduduk lokal, serta ketegangan antar kelompok etnis. Data menunjukkan bahwa 70% masyarakat adat Papua merasa terpinggirkan oleh kehadiran transmigran, terutama dalam akses terhadap sumber daya alam dan kesempatan ekonomi.
### **Perspektif Marhaenisme terhadap Transmigrasi**
Marhaenisme, yang berpijak pada prinsip keadilan sosial, kemandirian, dan pemberdayaan rakyat kecil, seharusnya menjadi landasan dalam merancang dan melaksanakan program transmigrasi. Dalam pandangan Soekarno, pemimpin harus memastikan bahwa kebijakan pembangunan tidak hanya menguntungkan segelintir elit, tetapi juga memberdayakan kaum Marhaen --- petani kecil, buruh, dan rakyat jelata.
Dalam konteks Papua, transmigrasi idealnya dirancang untuk memberdayakan masyarakat adat sebagai bagian dari solusi pembangunan. Misalnya, masyarakat adat dapat dilibatkan secara aktif dalam pengelolaan lahan, perencanaan kawasan transmigrasi, dan pengembangan infrastruktur lokal. Namun, implementasi program sering kali bersifat top-down dan minim partisipasi masyarakat adat, sehingga bertentangan dengan semangat Marhaenisme.
### **Dampak Sosial dan Ekonomi di Papua**
Penempatan transmigran di Papua membawa dampak sosial dan ekonomi yang kompleks. Di satu sisi, program ini berkontribusi pada pembangunan infrastruktur, seperti jalan, jembatan, dan fasilitas kesehatan di wilayah tujuan. Berdasarkan laporan tahun 2023, wilayah transmigrasi mengalami pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 4,2% per tahun, lebih tinggi dibandingkan rata-rata provinsi yang hanya 3,5%.
Namun, di sisi lain, kehadiran transmigran sering kali memperburuk ketimpangan ekonomi. Masyarakat adat Papua, yang umumnya masih bergantung pada pola hidup tradisional, sering kalah bersaing dengan transmigran yang memiliki keterampilan lebih modern. Akibatnya, masyarakat adat menjadi termarjinalisasi dan kehilangan akses terhadap tanah dan sumber daya alam yang merupakan bagian integral dari kehidupan mereka. Data menunjukkan bahwa lebih dari 50% masyarakat adat di kawasan transmigrasi kehilangan akses terhadap tanah ulayat mereka.