Mohon tunggu...
dimas muhammad erlangga
dimas muhammad erlangga Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktivis GmnI

Baca Buku Dan Jalan Jalan Live In

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Marhaenisme dan COP29: Mewujudkan Keadilan Iklim Berbasis Kerakyatan

30 November 2024   12:12 Diperbarui: 30 November 2024   12:12 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.climate-chance.org/en/event-calendar/cop29-baku/

Konferensi Perubahan Iklim COP29 yang berlangsung di Baku, Azerbaijan, tahun 2024 menjadi panggung penting dalam upaya global menangani krisis iklim. Laporan terbaru State of the Climate 2024 menegaskan bahwa tahun ini adalah salah satu tahun terpanas dalam sejarah, dengan rata-rata suhu global Januari hingga September mencapai 1,54C di atas era pra-industri. Fenomena El Nio memperburuk situasi dengan meningkatkan frekuensi bencana seperti banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan.

Melihat tantangan tersebut, Marhaenisme---ideologi yang berpijak pada keadilan sosial dan keberpihakan kepada rakyat kecil---dapat memberikan perspektif kritis terhadap arah kebijakan perubahan iklim. Marhaenisme tidak hanya berbicara tentang keadilan sosial, tetapi juga mencakup pengelolaan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan. Nilai-nilai ini sangat relevan dalam membahas langkah-langkah yang diambil pada COP29.

Perubahan Iklim Sebagai Isu Keadilan Sosial

Dampak perubahan iklim sangat tidak merata, di mana negara-negara berkembang menjadi korban utama meski kontribusi mereka terhadap emisi global relatif kecil. Data dari COP29 menunjukkan bahwa kerugian ekonomi akibat bencana terkait iklim mencapai miliaran dolar setiap tahun, dengan sebagian besar kerugian ini dialami oleh masyarakat miskin di negara-negara Global South. Selain itu, bencana iklim seperti banjir di Bangladesh dan kekeringan di Afrika sub-Sahara semakin memperburuk ketimpangan sosial yang ada.

Dalam semangat Marhaenisme, kebijakan perubahan iklim global tidak boleh hanya berpijak pada teknologi canggih dan kapital besar yang menguntungkan segelintir pihak. Sebaliknya, kebijakan tersebut harus menempatkan rakyat kecil sebagai subjek utama yang dilibatkan dalam solusi. Konsep keadilan iklim (climate justice) yang mengutamakan keseimbangan antara kebutuhan negara maju dan negara berkembang menjadi relevan untuk diterapkan.

Komitmen dan Tantangan Indonesia

Indonesia, sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, menghadapi risiko serius akibat kenaikan permukaan laut, degradasi ekosistem, dan bencana hidrometeorologi. Komitmen Indonesia dalam Nationally Determined Contributions (NDC) untuk menurunkan emisi sebesar 31,89% tanpa bantuan internasional dan hingga 43,2% dengan dukungan internasional pada tahun 2030 adalah langkah positif. Namun, pelaksanaannya kerap terhambat oleh konflik kepentingan antara pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan.

Dalam pendekatan Marhaenisme, kebijakan lingkungan Indonesia seharusnya tidak hanya fokus pada kepentingan makroekonomi tetapi juga memberdayakan rakyat kecil, seperti petani, nelayan, dan masyarakat adat. Program seperti rehabilitasi hutan mangrove, pemulihan lahan gambut, dan transisi ke energi terbarukan dapat lebih efektif jika melibatkan komunitas lokal secara aktif.

Data dari Global Forest Watch menunjukkan bahwa Indonesia berhasil mengurangi deforestasi pada tahun 2023, namun ancaman pembukaan lahan baru untuk industri ekstraktif masih tinggi. Hal ini menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih tegas terhadap pelaku industri besar, dengan tetap memberikan dukungan kepada usaha kecil yang ramah lingkungan.

COP29 dan Perjuangan Dana Kerugian dan Kerusakan

Salah satu agenda utama COP29 adalah implementasi Dana Kerugian dan Kerusakan (Loss and Damage Fund), yang pertama kali disepakati pada COP27 di Mesir. Dana ini bertujuan membantu negara-negara yang paling terdampak oleh krisis iklim, seperti negara-negara kepulauan kecil dan negara berkembang. Indonesia dapat memainkan peran penting dalam mendorong mekanisme pendanaan ini, baik sebagai penerima manfaat maupun sebagai negara penggerak solidaritas global.

Marhaenisme mengajarkan bahwa solidaritas internasional harus diarahkan untuk membebaskan kaum tertindas dari belenggu ketidakadilan. Dalam konteks perubahan iklim, solidaritas ini berarti memperjuangkan pengalihan dana dan teknologi dari negara maju ke negara berkembang, sehingga negara-negara miskin memiliki peluang yang sama untuk menghadapi krisis ini.

Energi Terbarukan: Masa Depan Marhaenisme

Transisi energi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan adalah salah satu pilar utama mitigasi perubahan iklim. Indonesia memiliki potensi besar dalam sumber energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan panas bumi. Namun, investasi pada sektor ini masih tertinggal dibandingkan kebutuhan.

Pendekatan berbasis Marhaenisme menekankan pentingnya menjadikan transisi energi sebagai proyek kerakyatan. Pemerintah dapat memberdayakan koperasi energi di tingkat desa yang memungkinkan masyarakat untuk memproduksi dan mengakses energi terbarukan secara mandiri. Ini tidak hanya mengurangi ketergantungan pada energi fosil, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru bagi rakyat kecil.

Laporan dari International Renewable Energy Agency (IRENA) menyebutkan bahwa transisi energi terbarukan dapat menciptakan hingga 14 juta pekerjaan baru secara global pada 2030. Dengan pendekatan yang inklusif, Indonesia bisa menjadi salah satu negara yang merasakan manfaat ini.

Peran Pemuda dan Masyarakat Sipil

Peran pemuda dan masyarakat sipil sangat penting dalam perjuangan iklim. Di Indonesia, gerakan pemuda seperti Youth for Climate Action telah aktif mendorong pemerintah untuk mengambil langkah yang lebih ambisius dalam mengatasi krisis iklim. Semangat ini sejalan dengan Marhaenisme yang menekankan pentingnya kaderisasi generasi muda sebagai agen perubahan.

COP29 juga menjadi momentum untuk memperkuat kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta. Kolaborasi ini harus diarahkan untuk menciptakan solusi yang konkret dan berkelanjutan, dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan sosial.

Kesimpulan

Perubahan iklim adalah tantangan global yang membutuhkan solusi kolektif. Dalam kerangka Marhaenisme, perjuangan melawan krisis iklim adalah bagian dari upaya untuk mewujudkan keadilan sosial dan keberlanjutan bagi seluruh lapisan masyarakat. COP29 memberikan peluang bagi Indonesia untuk memperjuangkan kepentingan rakyat kecil di panggung internasional, sekaligus mengintegrasikan nilai-nilai Marhaenisme dalam kebijakan lingkungan domestik. Dengan komitmen yang kuat dan keberpihakan yang jelas, Indonesia bisa menjadi pelopor keadilan iklim yang benar-benar membawa manfaat bagi rakyat banyak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun