Ehud Barak, mantan Perdana Menteri Israel (1999--2001), dikenal sebagai salah satu tokoh sentral dalam dinamika politik dan keamanan Israel. Karirnya yang panjang di dunia militer dan politik menjadikannya figur penting dalam memahami konflik Palestina-Israel. Pandangannya terhadap isu ini tetap relevan di tengah dinamika konflik yang terus berkembang, termasuk serangan besar-besaran di Gaza baru-baru ini.
Latar Belakang Ehud Barak
Ehud Barak lahir pada tahun 1942 dan dikenal sebagai tokoh militer yang sangat berpengalaman sebelum terjun ke dunia politik. Ia menjabat sebagai Kepala Staf Militer Israel dari 1991 hingga 1995 dan memainkan peran utama dalam operasi-operasi militer terkenal, seperti Operasi Entebbe pada 1976. Barak adalah seorang pemimpin dengan gaya pragmatis yang selalu mencoba menyeimbangkan antara pendekatan keras untuk keamanan Israel dan diplomasi untuk mencapai perdamaian.
Sebagai perdana menteri, Barak memimpin negosiasi damai di Camp David pada tahun 2000 bersama Yasser Arafat dan Presiden AS Bill Clinton. Meskipun pembicaraan ini gagal, langkahnya menunjukkan tekad untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel melalui solusi dua negara, sebuah pendekatan yang masih ia yakini hingga kini.
Sikap terhadap Konflik Palestina-Israel
Barak menegaskan bahwa solusi dua negara adalah satu-satunya cara untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan. Namun, ia juga menyadari bahwa realitas politik saat ini, baik di Israel maupun Palestina, membuat negosiasi semacam itu sulit dilakukan dalam waktu dekat. Salah satu pandangannya yang menarik adalah gagasannya agar Gaza dikelola oleh pasukan multinasional Arab setelah konflik militer selesai, dengan tujuan mendorong kembalinya Otoritas Palestina (PA) untuk memimpin wilayah tersebut. Menurut Barak, ini adalah langkah penting untuk mencegah kebangkitan kembali Hamas.
Di sisi lain, Barak juga tidak segan-segan mengkritik pemerintahan Israel saat ini, khususnya di bawah kepemimpinan Benjamin Netanyahu. Ia menilai bahwa Netanyahu gagal mencegah serangan besar-besaran Hamas pada 7 Oktober 2023, yang memicu perang terbaru di Gaza. Ia juga mengkritik beberapa anggota kabinet Netanyahu yang dianggapnya memiliki pandangan ekstrem, bahkan menyamakannya dengan kelompok sayap kanan radikal seperti Proud Boys di AS.
Respons terhadap Konflik Gaza 2023
Ketika Hamas melancarkan serangan besar-besaran pada 7 Oktober 2023, membunuh lebih dari 1.200 orang dan menyandera ratusan lainnya, Israel merespons dengan serangan militer yang intens di Gaza. Operasi ini telah menewaskan lebih dari 11.500 warga Palestina, dengan dua pertiga korban adalah perempuan dan anak-anak, menurut data otoritas kesehatan Gaza.
Barak mendukung operasi ini sebagai upaya untuk menghancurkan kemampuan militer Hamas. Namun, ia juga menekankan pentingnya menjaga legitimasi internasional Israel dengan meminimalkan korban sipil dan memastikan bantuan kemanusiaan tetap dapat masuk ke Gaza. Ia mengingatkan bahwa dukungan dari negara-negara seperti AS dan Eropa sangat penting untuk keberlanjutan operasi militer dan stabilitas pasca-konflik.