Dalam konteks kehidupan bernegara, pajak merupakan salah satu sumber utama pendapatan negara yang digunakan untuk membiayai berbagai program pembangunan, pelayanan publik, dan pemeliharaan stabilitas nasional. Namun, realitas di lapangan sering kali menunjukkan bahwa kebijakan pajak justru menjadi beban berat bagi rakyat marhaen. Beban ini kian terasa ketika pemerintah memberlakukan pajak yang berlapis-lapis tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat bawah. Apakah kebijakan semacam ini adil? Dalam pandangan marhaenisme, memalak rakyat kecil dengan aneka pajak merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanat penderitaan rakyat.
### **Kondisi Pajak Saat Ini: Fakta dan Data**
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan di Indonesia per Maret 2024 masih mencapai 9,4% dari total populasi atau sekitar 25 juta jiwa. Ironisnya, di tengah kondisi ekonomi yang sulit, pemerintah memberlakukan pajak baru seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada kebutuhan pokok, kenaikan tarif Pajak Penghasilan (PPh), serta perluasan objek Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Hal ini menjadi sorotan tajam karena mayoritas rakyat marhaen justru berada pada sektor informal yang pendapatannya tidak tetap.
Data lain menunjukkan bahwa 60% pekerja informal di Indonesia berpenghasilan di bawah Rp2 juta per bulan. Dengan beban pajak tambahan, daya beli mereka semakin tergerus. Selain itu, survei pada 2023 mencatat bahwa 70% rumah tangga di Indonesia merasa pajak konsumsi terlalu membebani. Fakta ini mempertegas bahwa kebijakan perpajakan saat ini tidak pro-rakyat kecil.
### **Pajak yang Tidak Adil: Pengkhianatan terhadap Amanat Penderitaan Rakyat**
Dalam falsafah marhaenisme yang diwariskan oleh Bung Karno, negara harus berpihak pada rakyat kecil. Kebijakan yang menyengsarakan rakyat bertentangan dengan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Memalak rakyat dengan aneka pajak tanpa memberikan manfaat yang jelas adalah bentuk penindasan struktural.
Sebagai contoh, penerapan PPN pada bahan pokok seperti beras, gula, dan minyak goreng menimbulkan polemik di masyarakat. Harga kebutuhan pokok yang sudah tinggi semakin melambung akibat tambahan pajak ini. Padahal, rakyat marhaen sangat bergantung pada barang-barang tersebut untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Bukankah ini justru melanggengkan ketidakadilan?
Selain itu, pemungutan pajak daerah yang berlapis-lapis, seperti pajak kendaraan bermotor, retribusi pasar, hingga pajak hiburan, juga menyasar masyarakat yang sesungguhnya tidak mampu. Bagi pedagang kecil, biaya retribusi pasar yang meningkat menjadi beban tambahan yang mengurangi pendapatan mereka. Kebijakan seperti ini tidak hanya tidak adil, tetapi juga menunjukkan bahwa pemerintah kurang memahami realitas kehidupan rakyat kecil.
### **Mengapa Harus Ada Reformasi Pajak?**
Kondisi ini menunjukkan pentingnya reformasi perpajakan yang berkeadilan. Reformasi ini tidak hanya mencakup penghapusan pajak yang memberatkan rakyat kecil, tetapi juga mengoptimalkan penerimaan pajak dari kelompok yang lebih mampu secara ekonomi. Berdasarkan laporan Oxfam 2024, kesenjangan ekonomi di Indonesia semakin melebar, dengan 1% orang terkaya menguasai 45% kekayaan nasional. Di sisi lain, kontribusi pajak dari kelompok ini masih tergolong rendah dibandingkan dengan potensi mereka.