Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 menjadi tonggak penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Dalam atmosfer ini, prinsip Amanat Penderitaan Rakyat (AMPERA) sebagaimana digagas oleh Bung Karno, relevan untuk menjadi landasan dalam menilai dan menyelenggarakan demokrasi yang berkeadilan sosial.
AMPERA yang dilandasi oleh cita-cita revolusi kemerdekaan mengedepankan nilai-nilai kerakyatan, keadilan sosial, dan kebangsaan. Pada konteks Pilkada Serentak 2024, pertanyaannya adalah: sejauh mana prinsip ini benar-benar diimplementasikan dalam praktik politik dan kebijakan negara? Ataukah, Pilkada justru menjadi ajang reproduksi kekuasaan oligarki yang mengabaikan penderitaan rakyat?
### **Fenomena Pilkada Serentak 2024**
Pilkada Serentak 2024 akan melibatkan 518 daerah, meliputi 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 98 kota. Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan bahwa total pemilih yang terdaftar mencapai lebih dari 204 juta orang. Dengan skala masif ini, Pilkada 2024 menjadi salah satu pesta demokrasi terbesar di dunia.
Namun, ada tantangan besar. Dalam laporan KPK tahun 2023, tercatat 310 kepala daerah terjerat kasus korupsi sejak 2004. Fakta ini mencerminkan adanya degradasi moral politik yang menjauhkan demokrasi dari prinsip AMPERA. Alih-alih melayani rakyat, kekuasaan sering kali digunakan untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok tertentu.
Selain itu, biaya politik yang tinggi menjadi persoalan serius. Sebuah studi tahun 2022 menunjukkan bahwa calon kepala daerah di Indonesia rata-rata menghabiskan biaya lebih dari Rp30-50 miliar untuk kampanye. Kondisi ini membuka celah bagi masuknya modal besar dari oligarki yang pada akhirnya akan "mengunci" kepala daerah dalam komitmen politik transaksional.
### **Prinsip AMPERA dalam Pilkada**
AMPERA memuat dua amanat besar: memperjuangkan keadilan sosial dan melawan eksploitasi rakyat. Dalam konteks Pilkada, ini berarti penyelenggaraan demokrasi harus mendorong hadirnya pemimpin yang berpihak kepada rakyat kecil, bukan sekadar perpanjangan tangan elite politik.
Sayangnya, sistem Pilkada sering kali tidak kondusif untuk melahirkan pemimpin yang benar-benar berpihak pada rakyat. Proses pencalonan melalui partai politik kerap berbasis pada popularitas dan kemampuan finansial, bukan kapasitas kepemimpinan. Hal ini menyebabkan banyak kandidat yang terpilih lebih mewakili kepentingan partai atau donatur politik dibandingkan aspirasi rakyat.
Sebagai contoh, pada Pilkada 2020, hanya sekitar 20% kepala daerah yang berasal dari latar belakang aktivis atau pegiat sosial. Mayoritas adalah politisi karier atau pengusaha, yang sering kali lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok daripada rakyat.