Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 menjadi salah satu agenda politik paling krusial dalam sejarah demokrasi Indonesia. Dengan jadwal pemungutan suara yang serentak pada 27 November 2024 Esok, Pilkada kali ini mencakup pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota di seluruh wilayah Indonesia. Jumlah daerah yang akan menggelar Pilkada mencapai 545, terdiri dari 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota. Keberlangsungan Pilkada 2024 menjadi momentum penting untuk menegaskan kembali nilai-nilai Marhaenisme sebagai panduan untuk mewujudkan demokrasi yang benar-benar berpihak kepada rakyat kecil.
Prinsip Marhaenisme dalam Demokrasi Lokal
Marhaenisme, sebagai ajaran Bung Karno, menekankan pada pentingnya keberpihakan kepada rakyat kecil atau kaum marhaen. Prinsip ini mengacu pada perjuangan untuk menciptakan keadilan sosial dan pemerataan ekonomi di tengah dominasi elit dan kapitalisme. Dalam konteks Pilkada 2024, Marhaenisme menawarkan pandangan bahwa demokrasi lokal harus menjadi instrumen untuk memastikan kebutuhan rakyat kecil diprioritaskan, termasuk dalam kebijakan pembangunan, pelayanan publik, hingga alokasi anggaran daerah.
Namun, kenyataan menunjukkan bahwa Pilkada sering kali masih jauh dari cita-cita Marhaenisme. Tantangan yang dihadapi dalam Pilkada sebelumnya, seperti politik uang, dominasi oligarki, dan rendahnya pendidikan politik masyarakat, mencerminkan betapa sulitnya demokrasi untuk benar-benar menjadi milik rakyat. Oleh karena itu, Pilkada 2024 harus dimanfaatkan sebagai momen untuk memperkuat keberpihakan kepada rakyat kecil, bukan hanya sekadar kompetisi antar elite politik.
Tantangan Demokrasi Lokal di Pilkada 2024
Pilkada Serentak 2024 menghadirkan beberapa tantangan signifikan yang perlu diatasi untuk mewujudkan demokrasi yang inklusif dan berkeadilan:
1. Dominasi Politik Oligarki
Biaya politik yang sangat tinggi dalam pencalonan kepala daerah kerap menjadi penghalang bagi kandidat independen atau mereka yang berasal dari kalangan rakyat biasa. Laporan terbaru menyebutkan bahwa biaya kampanye Pilkada dapat mencapai miliaran rupiah, yang sering kali memaksa kandidat mencari dukungan dari pihak tertentu yang memiliki modal besar. Konsekuensinya, banyak kebijakan daerah lebih berpihak pada kepentingan investor daripada masyarakat kecil.
2. Politik Uang dan Manipulasi Pemilih
Praktik politik uang masih menjadi momok dalam setiap pelaksanaan Pilkada. Data dari Bawaslu menunjukkan bahwa pelanggaran terkait politik uang meningkat pada Pilkada sebelumnya. Hal ini merusak esensi demokrasi karena pemilih cenderung memilih bukan berdasarkan visi-misi calon, tetapi karena insentif material yang diterima.