Sejak Abraham Accords diumumkan pada tahun 2020, perjanjian ini telah menandai era baru dalam hubungan diplomatik antara Israel dan beberapa negara Arab, seperti Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain. Namun, di balik pujian dan optimisme awal, kesepakatan ini menyisakan sejumlah kelemahan serta dampak negatif yang signifikan, terutama dalam konteks isu Palestina, ketegangan regional dengan Iran, dan pengaruh besar kekuatan asing seperti Amerika Serikat dan Cina di kawasan Timur Tengah.
Pengabaian Kepentingan Palestina
Salah satu kritik terbesar terhadap Abraham Accords adalah bagaimana perjanjian ini cenderung mengabaikan kepentingan rakyat Palestina. Ketika negara-negara Arab seperti UEA dan Bahrain menormalisasi hubungan dengan Israel, banyak yang melihatnya sebagai pengakuan terselubung terhadap pendudukan Israel atas wilayah Palestina yang diperebutkan. Otoritas Palestina (PA) mengkritik perjanjian ini sebagai "pengkhianatan" terhadap perjuangan mereka, menyoroti bahwa alih-alih membawa solusi dua negara yang diinginkan, normalisasi ini malah memperkuat posisi Israel di kawasan tanpa ada konsesi berarti terkait hak-hak Palestina.
Perjanjian ini mendorong Israel untuk terus memperluas aktivitas pemukiman di Tepi Barat tanpa rasa takut akan isolasi diplomatik dari negara-negara Arab, yang sebelumnya menjadi bentuk tekanan internasional. Penambahan pemukiman ini mempersulit terbentuknya negara Palestina yang berdaulat dan memperkeruh peluang perdamaian yang inklusif. Data terbaru menunjukkan bahwa sejak ditandatanganinya perjanjian, aktivitas pembangunan pemukiman Israel di wilayah Palestina meningkat tajam. Ini bukan hanya soal mengurangi lahan yang bisa ditempati rakyat Palestina, tetapi juga menambah ketegangan di antara masyarakat setempat yang harus berhadapan dengan perluasan pemukiman yang sering kali dilindungi militer Israel.
Ketegangan Regional dengan Iran
Abraham Accords tidak hanya berdampak pada hubungan Israel dengan negara-negara Arab tetapi juga memperburuk ketegangan regional dengan Iran. Normalisasi hubungan antara negara-negara Teluk dengan Israel dianggap oleh Iran sebagai ancaman langsung terhadap pengaruhnya di Timur Tengah. Iran, yang memiliki konflik ideologis dan politik dengan Israel, melihat kesepakatan ini sebagai bagian dari strategi untuk mengepungnya melalui aliansi baru yang didukung oleh Amerika Serikat. Hal ini memicu kekhawatiran bahwa Iran dapat meningkatkan dukungannya kepada kelompok-kelompok proksi seperti Hezbollah di Lebanon dan milisi-milisi di Irak dan Suriah sebagai upaya untuk melawan dominasi baru Israel di kawasan.
Efek negatif ini menjadi nyata dengan meningkatnya ketegangan di wilayah Teluk, terutama serangan-serangan terhadap fasilitas minyak Arab Saudi yang diklaim dilakukan oleh milisi pro-Iran. Ketegangan semacam ini menempatkan negara-negara Teluk dalam posisi yang rentan dan mengharuskan mereka bergantung pada perlindungan Amerika Serikat. Namun, ketergantungan ini juga menjadi pedang bermata dua, karena ketidakpastian politik AS sendiri bisa mengubah arah kebijakan luar negerinya sewaktu-waktu. Jika AS suatu hari memutuskan untuk mengalihkan fokusnya ke Asia atau mengurangi kehadiran militernya di Timur Tengah, negara-negara Teluk akan menghadapi ancaman keamanan yang lebih besar.
Pertarungan Geopolitik antara Amerika Serikat dan Cina
Abraham Accords tidak hanya merupakan kesepakatan antara negara-negara Timur Tengah, tetapi juga menjadi arena baru bagi persaingan geopolitik antara Amerika Serikat dan Cina. AS, sebagai penggagas utama perjanjian ini, berharap dapat memperkuat pengaruhnya di Timur Tengah dengan mendorong kerja sama antara negara-negara Teluk dan Israel untuk mengisolasi Iran dan mencegah dominasi Cina di kawasan tersebut. Di sisi lain, Cina, yang memiliki hubungan ekonomi kuat dengan beberapa negara Teluk, termasuk Arab Saudi, melihat Timur Tengah sebagai area strategis untuk memperluas pengaruhnya melalui proyek-proyek infrastruktur seperti Belt and Road Initiative (BRI).
Upaya AS untuk mendorong negara-negara Teluk agar lebih dekat dengan Israel juga diharapkan dapat mengurangi ketergantungan mereka pada Cina. Beberapa analis menilai bahwa normalisasi ini merupakan taktik AS untuk mengurangi pengaruh Cina dengan cara menawarkan aliansi keamanan dan proyek-proyek ekonomi yang lebih transparan. Namun, pendekatan ini tidak sepenuhnya diterima di kawasan tersebut, terutama dengan munculnya kekhawatiran bahwa kehadiran AS yang berlebihan dapat mengubah Timur Tengah menjadi arena konflik besar antara dua kekuatan besar tersebut.