Kongres Luar Biasa (KLB) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GmnI) yang digelar di Medan pada 2016 menuai berbagai kritik, baik dari kalangan internal maupun pihak eksternal organisasi. Sebagai organisasi yang telah melahirkan banyak tokoh nasional, GmnI seharusnya mampu mempertahankan integritas, idealisme, dan visi perjuangannya.Â
Namun, dalam pelaksanaannya, KLB 2016 justru dianggap tidak mencerminkan nilai-nilai yang diusung oleh organisasi ini. Ada beberapa aspek yang menjadi titik sorotan, mulai dari proses pemilihan hingga arah kebijakan yang diambil dalam KLB tersebut.
1. Mekanisme dan Legitimasi KLB
Salah satu kritik utama terhadap KLB GmnI 2016 adalah terkait mekanisme penyelenggaraannya. Beberapa pihak menilai bahwa KLB tersebut tidak memiliki dasar yang kuat dan terkesan dipaksakan. Menurut sebagian besar anggota, penyelenggaraan KLB bukanlah solusi ideal untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di tubuh GmnI, tetapi justru dapat memperburuk kondisi internal organisasi.
 KLB dianggap hanya dijadikan alat untuk mengonsolidasikan kekuatan dan kepentingan kelompok tertentu tanpa memedulikan mekanisme demokratis yang seharusnya dijunjung tinggi oleh organisasi yang mengklaim berideologi Pancasila ini.
Mekanisme KLB yang dianggap tidak transparan memicu pertanyaan tentang legitimasi hasil-hasil yang dihasilkan. Banyak anggota yang mempertanyakan proses pemilihan dan pengambilan keputusan yang dinilai tidak sesuai dengan prosedur organisasi. Beberapa peserta yang hadir bahkan merasa tidak mendapatkan akses informasi yang cukup mengenai agenda dan prosedur KLB, sehingga banyak keputusan yang diambil tanpa melibatkan seluruh elemen organisasi secara penuh.
2. Kepentingan Elit dan Politik Praktis
Kritik selanjutnya terkait dugaan adanya kepentingan elit dan politik praktis dalam pelaksanaan KLB tersebut. Sebagai organisasi yang seharusnya menjadi wadah perjuangan mahasiswa, GmnI diharapkan tetap netral dan berfokus pada kepentingan rakyat, bukan terjebak dalam kepentingan politik praktis. Namun, KLB 2016 di Medan memperlihatkan indikasi adanya pengaruh eksternal dari aktor-aktor politik yang berkepentingan untuk menguasai GmnI sebagai alat mobilisasi politik.
Banyak yang menilai bahwa KLB ini diwarnai oleh tarik-menarik kepentingan dari beberapa elit politik nasional yang melihat GmnI sebagai kekuatan yang potensial untuk dimanfaatkan demi tujuan politik jangka pendek. Kondisi ini menyebabkan GmnI, sebagai organisasi ideologis, kehilangan arah dan menjadi rentan terhadap polarisasi. Keterlibatan elit politik dalam KLB bukan hanya menodai prinsip independensi GmnI, tetapi juga merusak citra organisasi sebagai tempat kaderisasi yang berintegritas.
3. Hilangnya Semangat Marhaenisme