Mohon tunggu...
dimas muhammad erlangga
dimas muhammad erlangga Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktivis GmnI

Baca Buku Dan Jalan Jalan Live In

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Marhaenisme dan Kemiskinan Sistemik: Tantangan Struktural dalam Pemberdayaan Rakyat

27 September 2024   06:47 Diperbarui: 27 September 2024   06:56 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://korankaltim.com/read/samarinda/73896/jumlah-penduduk-miskin-di-kaltim-turun-tapi-garis-kemiskinan-naik#google_vignette

Marhaenisme, sebuah ideologi yang digagas oleh Soekarno, mengedepankan prinsip-prinsip keadilan sosial, kedaulatan rakyat, dan pemerataan kesejahteraan. Ideologi ini didasari pada keprihatinan terhadap nasib rakyat kecil---terutama petani dan kaum pekerja---yang secara historis kerap tertindas oleh sistem ekonomi dan politik yang tidak adil. Dalam konteks kemiskinan sistemik yang masih menjadi problem besar di Indonesia, marhaenisme menawarkan pandangan yang relevan dan solutif. Namun, tantangan terbesar dalam mewujudkan cita-cita ini adalah adanya sistemik kemiskinan yang berakar pada ketimpangan struktural yang diwarisi dari masa penjajahan hingga era modern.

Kemiskinan Sistemik: Sebuah Pengantar

Kemiskinan sistemik mengacu pada situasi di mana kemiskinan tidak hanya disebabkan oleh faktor individu, tetapi merupakan hasil dari struktur sosial, ekonomi, dan politik yang tidak adil. Ketimpangan distribusi sumber daya, rendahnya akses terhadap pendidikan dan kesehatan, serta eksklusi sosial dan ekonomi yang dialami oleh kelompok marjinal adalah beberapa contoh bagaimana kemiskinan diproduksi dan direproduksi oleh sistem yang ada. Dalam konteks ini, pendekatan marhaenisme yang menekankan pemberdayaan rakyat menjadi sangat relevan.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan di Indonesia pada Maret 2023 mencapai 9,57%, setara dengan 26,36 juta orang. Meski ada penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, angka ini masih sangat tinggi, mengingat Indonesia adalah salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di Asia Tenggara. Namun, ketimpangan pendapatan juga masih menjadi masalah besar, dengan rasio Gini yang berada di angka 0,381 pada tahun 2022, menunjukkan kesenjangan yang signifikan antara kelompok kaya dan miskin.

Marhaenisme dan Keadilan Sosial

Salah satu pilar utama marhaenisme adalah keadilan sosial, yang dapat diartikan sebagai distribusi kekayaan dan sumber daya yang adil untuk semua lapisan masyarakat. Dalam sistem ekonomi kapitalis yang dominan, ketimpangan semakin mengakar karena akumulasi kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir elit. Sementara itu, rakyat kecil, atau kaum marhaen---petani, buruh, nelayan, dan kelompok masyarakat miskin lainnya---sering kali tidak memiliki akses terhadap tanah, modal, dan teknologi yang diperlukan untuk meningkatkan taraf hidup mereka.

Di sinilah marhaenisme memiliki relevansi strategis dalam menjawab tantangan kemiskinan sistemik. Marhaenisme, melalui pendekatan pro-rakyatnya, mengedepankan perlunya distribusi kekayaan yang lebih merata, baik melalui reforma agraria, peningkatan akses pendidikan dan kesehatan, hingga perlindungan tenaga kerja yang lebih baik. Reforma agraria, misalnya, merupakan salah satu agenda utama dalam ideologi marhaenisme. Hingga saat ini, isu ketimpangan kepemilikan tanah masih menjadi masalah besar. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan bahwa sekitar 1% penduduk Indonesia menguasai 59% lahan produktif. Ketimpangan ini menciptakan kondisi di mana sebagian besar petani kecil tidak memiliki akses yang memadai terhadap lahan, sehingga mereka terjebak dalam lingkaran kemiskinan.

Kebijakan Pembangunan yang Kurang Merata

Selain ketimpangan agraria, kebijakan pembangunan yang cenderung sentralistik juga turut memperburuk kemiskinan sistemik. Pembangunan yang terfokus pada kota-kota besar dan sektor-sektor ekonomi tertentu membuat wilayah-wilayah pedesaan, terutama di daerah-daerah terpencil, semakin terpinggirkan. Dalam konteks ini, marhaenisme menekankan pentingnya pembangunan yang inklusif dan merata di seluruh wilayah Indonesia.

Sektor pertanian, yang menjadi tumpuan hidup sebagian besar rakyat kecil, sering kali terabaikan dalam kebijakan pembangunan. Data dari Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus menurun dalam beberapa dekade terakhir, sementara sektor-sektor industri dan jasa terus meningkat. Padahal, mayoritas penduduk Indonesia masih bergantung pada sektor pertanian, khususnya di pedesaan. Marhaenisme mengajukan bahwa pembangunan harus diarahkan pada penguatan sektor-sektor yang menopang kehidupan rakyat kecil, termasuk pertanian dan ekonomi berbasis komunitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun