Mohon tunggu...
dimas muhammad erlangga
dimas muhammad erlangga Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktivis GmnI

Baca Buku Dan Jalan Jalan Live In

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sarinah: Feminisme ala Indonesia (?)

25 September 2024   08:49 Diperbarui: 25 September 2024   09:54 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Feminisme kerap dipandang sebagai gerakan yang berasal dari Barat, seolah-olah tidak ada relevansi dengan konteks Indonesia. Namun, anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Indonesia memiliki sejarah panjang tentang emansipasi perempuan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh lokal, salah satunya adalah Raden Adjeng Kartini. Bahkan, dalam sejarah perjuangan bangsa, peran perempuan tidak bisa diabaikan. Salah satu wujud penting dari semangat feminisme Indonesia adalah sosok Sarinah yang diperkenalkan oleh Soekarno, sebagai simbol perjuangan perempuan yang berbeda dengan feminisme Barat.

Sarinah: Ibu Bangsa dan Penggerak Kaum Perempuan

Sarinah dikenal sebagai tokoh perempuan yang berperan penting dalam kehidupan Soekarno muda. Ia bukan sosok perempuan bangsawan atau kaum terpelajar seperti Kartini, melainkan seorang pekerja biasa, seorang abdi dalem di rumah Soekarno. Namun, dari Sarinah, Soekarno belajar banyak tentang kehidupan rakyat kecil, khususnya perempuan. Dalam bukunya yang berjudul "Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia," Soekarno menempatkan Sarinah sebagai inspirasi bagi gerakan emansipasi perempuan Indonesia. Melalui sosok ini, feminisme ala Indonesia ditampilkan sebagai gerakan yang berakar pada semangat perjuangan rakyat, bukan sekadar gerakan elit yang berfokus pada kesetaraan gender dalam ruang lingkup politik dan hukum semata.

Soekarno menyadari bahwa perempuan adalah elemen penting dalam pembangunan bangsa. Namun, menurutnya, perjuangan perempuan di Indonesia tidak bisa diadopsi secara mentah-mentah dari Barat. Feminisme Indonesia harus berakar dari kondisi lokal, di mana perjuangan kelas dan kesetaraan ekonomi memiliki peran yang signifikan. Oleh karena itu, Sarinah tidak hanya menjadi simbol pergerakan perempuan, tetapi juga representasi dari rakyat kecil yang turut serta dalam membangun fondasi negara.

Feminisme Indonesia: Perjuangan yang Multidimensi

Jika feminisme Barat sering kali fokus pada kesetaraan gender dalam politik, ekonomi, dan hukum, feminisme Indonesia versi Sarinah memiliki dimensi yang lebih luas. Tidak hanya memperjuangkan hak-hak perempuan dalam ruang domestik dan publik, tetapi juga mencakup aspek-aspek lain seperti keadilan sosial, perjuangan melawan kemiskinan, dan solidaritas rakyat. Dalam pandangan ini, perempuan tidak hanya memperjuangkan diri mereka sendiri, tetapi juga turut serta dalam perjuangan bangsa yang lebih besar.

Feminisme Sarinah juga mengedepankan peran perempuan sebagai pendidik utama dalam keluarga dan masyarakat. Dalam masyarakat yang masih patriarkal seperti Indonesia, perempuan memainkan peran penting dalam membentuk karakter generasi berikutnya. Oleh karena itu, pendidikan perempuan menjadi hal yang sangat ditekankan oleh Soekarno. Baginya, memajukan perempuan berarti memajukan seluruh bangsa.

Namun, ini bukan berarti feminisme Indonesia mengabaikan kesetaraan gender. Kesetaraan tetap menjadi isu penting, tetapi dengan pendekatan yang lebih inklusif dan berakar pada realitas sosial di Indonesia. Feminisme Indonesia tidak hanya memperjuangkan hak-hak perempuan kelas menengah ke atas, tetapi juga perempuan dari kalangan bawah yang sering kali tidak memiliki akses terhadap pendidikan dan ekonomi.

Tantangan Feminisme Indonesia di Era Modern

Meski memiliki sejarah panjang dalam perjuangan perempuan, feminisme di Indonesia menghadapi banyak tantangan di era modern. Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana gerakan ini dapat tetap relevan di tengah globalisasi yang sering kali mempengaruhi pola pikir masyarakat. Feminisme modern di Indonesia kerap kali dianggap sebagai tiruan dari gerakan feminis Barat, yang kadang tidak sejalan dengan nilai-nilai budaya dan agama lokal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun