Setiap tanggal 24 September, Indonesia memperingati Hari Tani Nasional sebagai momentum untuk mengapresiasi peran penting petani dalam menyediakan kebutuhan pangan bagi masyarakat. Namun, di balik peringatan ini, ada pertanyaan besar yang perlu dijawab: sudahkah petani dan desa, sebagai pusat kehidupan agraris Indonesia, terbebas dari kemiskinan?
Sejak dicanangkannya Hari Tani Nasional pada tahun 1960 bersamaan dengan disahkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), pemerintah terus berupaya memberikan perhatian kepada sektor pertanian, termasuk distribusi tanah yang lebih merata dan peningkatan kesejahteraan petani. Namun, meskipun berbagai kebijakan telah diterapkan, realitas di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar petani Indonesia masih berada dalam lingkaran kemiskinan.
Kemiskinan di Desa Masih Tinggi
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Maret 2023, angka kemiskinan di pedesaan mencapai 12,36%, lebih tinggi daripada kemiskinan di perkotaan yang berada di angka 7,54%. Dari sekitar 26 juta penduduk miskin di Indonesia, 15 juta di antaranya tinggal di pedesaan yang mayoritas menggantungkan hidup dari sektor pertanian. Fakta ini menggambarkan ketimpangan kesejahteraan yang signifikan antara kota dan desa. Sebagai negara agraris, angka ini menjadi ironi, mengingat desa-desa di Indonesia seharusnya menjadi pusat kesejahteraan yang didukung oleh kekayaan alam.
Salah satu faktor penyebab tingginya kemiskinan di desa adalah terbatasnya akses petani terhadap lahan pertanian yang layak. Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sekitar 56% petani di Indonesia adalah petani gurem atau petani dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar. Luas lahan yang sempit ini jelas tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, apalagi untuk mengembangkan usaha pertanian yang produktif. Lahan sempit juga membuat petani rentan terhadap fluktuasi harga komoditas, musim, dan hama.
Harga Komoditas yang Tidak Stabil
Masalah lain yang terus membayangi petani adalah ketidakstabilan harga komoditas pertanian. Fenomena klasik seperti rendahnya harga gabah pada musim panen raya kerap membuat petani mengalami kerugian. Sebagai contoh, pada awal tahun 2023, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani sempat anjlok hingga Rp 4.000 per kilogram, jauh di bawah harga pokok penjualan (HPP) yang ditetapkan pemerintah. Di sisi lain, harga kebutuhan produksi seperti pupuk dan benih terus mengalami kenaikan, sehingga keuntungan yang diperoleh petani semakin tergerus.
Pemerintah memang telah mencoba memberikan subsidi untuk membantu petani, seperti subsidi pupuk, namun realisasinya sering tidak tepat sasaran. Berdasarkan laporan KPK pada tahun 2022, distribusi pupuk bersubsidi masih mengalami berbagai penyimpangan, mulai dari korupsi hingga penyaluran yang tidak merata. Akibatnya, banyak petani kecil yang tidak bisa mendapatkan pupuk bersubsidi dan terpaksa membeli dengan harga pasar yang lebih tinggi.
Minimnya Infrastruktur Pendukung
Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan sektor pertanian adalah infrastruktur yang memadai, terutama untuk akses transportasi dan irigasi. Sayangnya, di banyak desa di Indonesia, akses jalan yang buruk serta jaringan irigasi yang belum memadai menjadi hambatan serius. BPS mencatat, pada tahun 2022, masih terdapat sekitar 18% sawah irigasi teknis yang belum optimal beroperasi, menyebabkan produktivitas pertanian menurun. Kondisi ini diperparah dengan minimnya akses petani terhadap teknologi pertanian modern.