Perlawanan rakyat marhaen di Jawa Barat terhadap ketidakadilan sosial dan ekonomi semakin menguat. Di tengah ketidakpastian pasca pandemi yang memperparah kondisi ekonomi masyarakat kelas bawah, jeritan buruh semakin lantang terdengar, terutama di sektor-sektor industri besar di provinsi ini. Buruh yang notabene adalah bagian dari rakyat marhaen, menjadi korban kebijakan yang dianggap lebih berpihak pada kepentingan pengusaha ketimbang kesejahteraan pekerja. Isu utama yang menjadi sorotan adalah tuntutan atas upah yang layak dan pencabutan Omnibus Law, yang dirasakan semakin menindas hak-hak kaum buruh.
Ketimpangan Upah Buruh di Jawa Barat
Jawa Barat merupakan salah satu provinsi dengan tingkat industrialisasi yang tinggi di Indonesia. Ribuan pabrik beroperasi di kawasan-kawasan seperti Bekasi, Karawang, hingga Bandung Raya. Namun, di balik megahnya kawasan industri ini, nasib buruh di Jawa Barat masih jauh dari sejahtera. Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di berbagai daerah di Jawa Barat sangat bervariasi, namun masih banyak yang berada di bawah standar kebutuhan hidup layak (KHL). Misalnya, UMK di Kabupaten Bogor pada tahun 2024 berada di kisaran Rp 5 juta, sedangkan di Cirebon hanya sekitar Rp 2,5 juta. Ketimpangan ini mencerminkan bahwa buruh yang bekerja di daerah-daerah industri besar relatif lebih beruntung daripada mereka yang berada di daerah dengan potensi industri lebih kecil, meskipun keduanya bekerja sama keras.
Masalah lain yang muncul adalah ketidakadilan dalam penetapan upah minimum yang sering kali tidak melibatkan perwakilan buruh secara memadai. Banyak keputusan mengenai UMK dibuat tanpa mempertimbangkan masukan dan kondisi riil para pekerja di lapangan, yang justru paling merasakan dampaknya. Akibatnya, buruh harus bertahan hidup dengan upah yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Tuntutan untuk upah layak pun semakin menguat, terutama dari kalangan buruh yang tergabung dalam serikat-serikat buruh.
Omnibus Law: Kebijakan yang Menindas Rakyat
Salah satu isu yang paling mengemuka dalam beberapa tahun terakhir adalah diberlakukannya Undang-Undang Cipta Kerja atau lebih dikenal dengan Omnibus Law. UU ini, yang disahkan pada tahun 2020, sejak awal sudah menuai kontroversi dan penolakan keras dari berbagai elemen masyarakat, terutama buruh. Di Jawa Barat, ribuan buruh berulang kali turun ke jalan untuk menolak kebijakan ini. Omnibus Law dianggap merugikan kaum buruh karena beberapa poin penting di dalamnya justru melemahkan hak-hak pekerja yang selama ini diperjuangkan dengan susah payah.
Salah satu poin yang paling dipermasalahkan adalah fleksibilitas dalam sistem kontrak kerja. Dalam Omnibus Law, pekerja kontrak bisa terus diperpanjang tanpa batas waktu yang jelas. Ini jelas merugikan buruh, karena mereka tidak mendapatkan jaminan keamanan kerja dan kesejahteraan jangka panjang. Selain itu, aturan terkait pesangon juga dirasa sangat tidak memihak kepada buruh, karena jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan ketentuan sebelumnya.
Tidak hanya itu, Omnibus Law juga membuka peluang besar bagi perusahaan untuk lebih mudah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dalam konteks ini, buruh seolah-olah dipaksa bekerja dalam ketidakpastian, tanpa ada jaminan bahwa mereka akan tetap memiliki pekerjaan di tengah kondisi ekonomi yang serba sulit. Kebijakan ini jelas memperburuk keadaan buruh, yang mayoritas berasal dari kalangan marhaen, atau kelas bawah yang sudah lama terpinggirkan dalam sistem ekonomi kapitalis yang semakin liberal.
Solidaritas Marhaen Jawa Barat
Gelombang penolakan terhadap Omnibus Law dan tuntutan untuk upah layak di Jawa Barat menjadi simbol perlawanan rakyat marhaen terhadap kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada kepentingan rakyat kecil. Para buruh, petani, pedagang kecil, dan elemen masyarakat lain yang turut terhimpit oleh kebijakan ini mulai bersatu dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Gerakan ini tidak hanya mencerminkan protes atas kebijakan pemerintah, tetapi juga bentuk solidaritas di antara sesama rakyat marhaen untuk melawan sistem yang mereka anggap tidak adil.