Mohon tunggu...
dimas muhammad erlangga
dimas muhammad erlangga Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktivis GmnI

Baca Buku Dan Jalan Jalan Live In

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Lewis A. Coser: Fungsionalisme Konflik

18 September 2024   03:57 Diperbarui: 18 September 2024   04:00 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
concordia.accesstomemory.org/lewis-coser

Lewis A. Coser merupakan salah satu sosiolog ternama yang membawa perspektif unik dalam teori sosiologi, khususnya melalui pendekatan yang disebut sebagai fungsionalisme konflik. Sebagai seorang yang lahir dari tradisi teori sosiologi Eropa dan tumbuh dalam konteks sosiologi Amerika, Coser menawarkan pandangan yang mendamaikan dua pendekatan besar yang sering dianggap bertolak belakang: fungsionalisme dan teori konflik.

Fungsionalisme adalah teori yang menekankan stabilitas sosial, harmoni, dan bagaimana struktur sosial berperan untuk menjaga keteraturan dalam masyarakat. Teori ini, yang dipopulerkan oleh tokoh seperti Emile Durkheim dan Talcott Parsons, melihat masyarakat sebagai sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling terkait dan bekerja sama untuk menjaga stabilitas. Sebaliknya, teori konflik, yang dipengaruhi oleh pemikiran Karl Marx, melihat masyarakat sebagai arena pertarungan kekuasaan, di mana kelompok-kelompok saling bersaing untuk sumber daya yang terbatas.

Namun, Coser mengembangkan pendekatan yang unik dengan menggabungkan kedua teori tersebut, sehingga lahirlah apa yang dikenal sebagai "fungsionalisme konflik." Dalam pandangan Coser, konflik bukanlah sesuatu yang semata-mata merusak tatanan sosial, melainkan memiliki fungsi penting dalam menjaga dinamika dan kestabilan sosial. Dengan kata lain, konflik bukan hanya dilihat sebagai faktor destruktif, tetapi juga konstruktif dalam tatanan sosial.

Konflik Sebagai Pemicu Perubahan Sosial

Dalam karya utamanya, The Functions of Social Conflict (1956), Coser menegaskan bahwa konflik memiliki peran positif dalam masyarakat. Dia berargumen bahwa konflik dapat berfungsi untuk memperbarui norma dan nilai sosial, serta memicu perubahan dalam struktur sosial. Dengan adanya konflik, ketidakpuasan terhadap tatanan yang ada dapat diekspresikan, dan dalam beberapa kasus, hal ini dapat memacu reformasi yang dibutuhkan.

Coser juga menjelaskan bahwa konflik tidak harus selalu mengarah pada kekerasan atau kehancuran, tetapi bisa menjadi proses negosiasi antara berbagai kepentingan yang berbeda. Konflik dapat mendorong adanya perbaikan hubungan sosial dan penyesuaian kembali struktur yang ada agar lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Sebagai contoh, dalam konteks politik, demonstrasi atau protes sering kali merupakan bentuk konflik sosial yang memaksa pemerintah untuk mendengarkan aspirasi masyarakat. Konflik seperti ini pada akhirnya dapat menghasilkan kebijakan baru atau perubahan politik yang lebih adil. Dalam hal ini, konflik memiliki fungsi sebagai alat koreksi sosial yang menjaga agar kekuasaan tidak terlalu terpusat pada satu kelompok tertentu.

Konflik Dalam Kelompok dan Antar Kelompok

Lewis Coser membedakan antara konflik dalam kelompok (intra-group conflict) dan konflik antar kelompok (inter-group conflict). Konflik dalam kelompok biasanya terjadi ketika ada perbedaan pendapat atau kepentingan di antara anggota kelompok yang sama. Coser melihat konflik semacam ini sebagai sesuatu yang dapat memperkuat solidaritas internal kelompok. Dengan adanya konflik, anggota kelompok dapat memperdebatkan perbedaan mereka dan akhirnya mencapai konsensus baru yang lebih kuat. Ini sejalan dengan pandangan fungsionalis bahwa konflik bisa membawa stabilitas melalui penyesuaian dan reformasi internal.

Sementara itu, konflik antar kelompok terjadi ketika dua atau lebih kelompok saling berhadapan karena perbedaan kepentingan atau nilai. Dalam hal ini, konflik bisa memperkuat identitas kelompok dan meningkatkan solidaritas antar anggota kelompok. Dengan menghadapi ancaman dari luar, kelompok sering kali menjadi lebih bersatu dan terorganisir. Hal ini menjelaskan mengapa dalam beberapa kasus, tekanan eksternal atau konflik antar kelompok justru memperkuat kohesi internal dalam kelompok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun