Demikian pula di lapangan budaya. Kebudayaan kita kehilangan jati diri dan karakter nasionalnya karena digerus oleh penetrasi kebudayaan imperialistik. Belum lagi, akibat privatisasi di sektor pendidikan, ilmu pengetahuan disubordinasikan untuk tujuan mengakumulasi keuntungan, bukan untuk memajukan kekuatan produktif dan meninggikan taraf kebudayaan rakyat.
Inilah realitas bangsa kita saat ini. Bangsa kita mengalami proses penjajahan baru atau sering disebut neo-kolonialisme. Hanya cara dan metode penghisapannya yang berubah, tetapi tujuan dan dampaknya terhadap kehidupan rakyat tetap sama. Neokolonialisme inilah yang membuat cita-cita mewujudkan kemerdekaan nasional kita terganjal dan mandek.
Peringatan HUT Kemerdekaan tahun ini cukup istimewa. Pertama, situasi objektif sekarang memperlihatkan menguatnya kehendak massa rakyat yang berdesak-desakan mencari jalan keluar atas persoalan bangsa sekarang ini. Kedua, kita baru saja menyelenggarakan Pemilu Presiden dan sebentar lagi akan menemukan pemimpin baru. Yang menarik, dalam Pilpres 14 Februari lalu, kehendak massa rakyat itu bertemu dengan visi-misi para Calon Presiden yang mengusung gagasan-gagasan kemandirian dan kemerdekaan nasional. Kita berharap, kepemimpinan nasional mendatang bisa konsisten membawa kembali bangsa ini ke aras perjuangan mewujudkan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan.
Dan yang terpenting, nasib bangsa ini ada di tangan rakyatnya. Sejarah menunjukkan, rakyat yang sadar dan terorganisir merupakan kunci untuk meruntuhkan segala bentuk penindasan, termasuk praktek kolonialisme dengan segala bentuknya. Karena itu kita yakin, dengan semangat persatuan nasional dan gotong-royong, yang dijiwai oleh semangat Proklamasi Kemerdekaan, perjuangan bangsa ini untuk mewujudkan cita-cita nasionalnya, Insya Allah, pasti terwujud.