Kasus Pinangki Sirna Malasari dimulai ketika ia diangkat sebagai jaksa di Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Dalam menjalankan tugasnya, Pinangki terlibat dalam skandal besar yang melibatkan Djoko Tjandra, seorang buronan kasus korupsi Bank Bali. Pada tahun 2020, Djoko Tjandra berusaha menghindari putusan pengadilan yang menjatuhkan hukuman atas dirinya. Pinangki diduga menerima suap sebesar $500.000 dari Djoko Tjandra untuk membantu memuluskan rencana Djoko dalam menghapus catatan hukumnya dan menghindari proses hukum. Dalam proses ini, Pinangki juga terlibat dalam pencucian uang, yang semakin memperburuk posisinya sebagai seorang jaksa.
Setelah penyelidikan dilakukan, kasus ini terungkap ke publik, dan Pinangki ditangkap oleh pihak berwenang. Pada 8 Februari 2021, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis 10 tahun penjara dan denda sebesar Rp600 juta kepada Pinangki.Â
Keputusan ini mencerminkan keseriusan pelanggaran hukum yang dilakukannya, serta pelanggaran terhadap kode etik yang mengharuskan jaksa untuk bertindak jujur dan menegakkan hukum.
Namun, perjalanan hukum Pinangki tidak berhenti di situ. Ia mengajukan banding atas vonis tersebut. Dalam proses banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, hukuman Pinangki dikurangi menjadi 4 tahun penjara. Pengurangan hukuman ini menimbulkan kontroversi, terutama karena alasan yang digunakan hakim untuk meringankan hukuman dianggap tidak sesuai dengan prinsip keadilan. Banyak pihak merasa bahwa keputusan tersebut menciptakan preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia.
Kasus Pinangki Sirna Malasari bukan hanya sekadar kasus individu; ia mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh sistem peradilan dalam menjaga integritas dan kepercayaan publik terhadap lembaga hukum. Pelanggaran kode etik oleh seorang jaksa dapat merusak citra dan kredibilitas institusi penegak hukum secara keseluruhan.
Regulasi
1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang mengatur kewenangan dan tugas jaksa.
 2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
3. Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan dan pelanggaran hukum lainnya terkait tindakan korupsi.
Analisis Kasus Pinangki Sirna Malasari
Kasus Pinangki Sirna Malasari adalah contoh yang mencolok tentang pelanggaran kode etik dalam institusi penegakan hukum di Indonesia. Analisis terhadap kasus ini dapat dibagi ke dalam beberapa aspek penting:
1. Pelanggaran Kode Etik
Pinangki, sebagai seorang jaksa, memiliki tanggung jawab untuk menegakkan hukum dan menjaga integritas sistem peradilan. Kode Etik Jaksa Indonesia mengharuskan jaksa untuk bertindak jujur, transparan, dan profesional. Namun, keterlibatannya dalam menerima suap dari Djoko Tjandra jelas melanggar prinsip-prinsip tersebut. Tindakan ini tidak hanya merugikan citra profesi jaksa, tetapi juga mengancam kepercayaan publik terhadap institusi hukum.
2. Dampak Terhadap Sistem Peradilan
Pelanggaran yang dilakukan oleh Pinangki menciptakan dampak yang luas bagi sistem peradilan di Indonesia. Ketika seorang penegak hukum terlibat dalam praktik korupsi, hal ini dapat merusak integritas lembaga peradilan secara keseluruhan. Masyarakat mungkin kehilangan kepercayaan pada kemampuan sistem hukum untuk memberikan keadilan, yang pada gilirannya dapat menyebabkan apatisme dan skeptisisme terhadap proses hukum.
3. Proses Hukum dan Vonis
Vonis awal yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yaitu 10 tahun penjara dan denda Rp600 juta, mencerminkan keseriusan pelanggaran yang dilakukan. Namun, keputusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta untuk mengurangi hukuman menjadi 4 tahun menimbulkan kontroversi. Banyak pihak berpendapat bahwa pengurangan hukuman ini tidak sebanding dengan tingkat kejahatan yang dilakukan, terutama mengingat bahwa tindakan Pinangki berkontribusi pada upaya Djoko Tjandra untuk menghindari hukuman.