Aku jadi ingat ketika itu. Jam 8 malam, dengan segelas kopi dan cemas yang membingungkan. Dari pembicara ke pembicara, juga rasa kantuk yang makin parah. Hingga pada akhirnya kata mutiara terdengar "Kita rehat sejenak." Kata bang Karni. Seketika aku begitu bergairah karena setelah itu pembicara idolaku segera mulai bicara. Yaa. Babe Ridwan Saidi lah orangnya. Mantan ketua HMI dan sederet gelar lainnya yang tidak ada gunanya kalau disebut.
Kata orang, beliau adalah buku yang terbuka. Aku setuju, tapi tidak sepenuhnya, karena ia bukan lagi buku, tapi pantai luas yang menggangguku dengan ombaknya, menimbulkan banyak pertanyaan. Dari mana?? Mau ke mana??, bagaimana bisa??.
Dari soal Galuh, M Natsir, Buya Hamka, dan buku Diburu Mossad aku mencoba mengikuti pikiran beliau tapi pada akhirnya aku berhenti. Buat apa juga?. Aku lebih ingin menikmati Babe sebagai suatu poros lain dari tokoh-tokoh ibu kota sana. Karena dengan mengikuti pikiran beliau tanpa mengikuti pemikiran tokoh lain, menurutku ujung-ujungnya jadi fanatisme, dan tentunya tidak sejalan dengan pemikiran babe yang begitu menghargai dialektika.
"Lahir seorang besar tenggelam beratus ribu, keduanya harus dicatet keduanya dapat tempat." Kata Chairil. Sekarang sudah pukul 11 malam, dan aku sudah kehilangan ide untuk menulis. Akhirnya sambil ngopi tipis-tipis aku bertanya: "sudahkah kita mencatat beliau dan masih bisakah kita berharap akan lahir seorang besar?." Entahlah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H