Legenda Batu Menangis, legenda atau cerita yang terjadi di kalimantan selatan membuatku meringis alih-alih puas setelah menamatkan ceritanya. Cerita yang membuatku tersenyum sinis sepanjang menamatkannya.Â
Cerita ini dimulai ketika si Darmi---tokoh yang akan dikutuk nantinya---mendapat undangan sebuah pesta oleh temannya yang berasal dari desa di utara sungai. Bukan kepalang senangnya Darmi mendapat undangan itu. Pesta yang menurut rencananya nanti akan menjadi ajang kecantikan bagi Darmi dan semua orang-orang yang hadir akan tertuju padanya.
Dari sepotong awal cerita di atas kita bisa melihat, bahwa Darmi seorang yang narsistik. Narsis atau narsisme atau narsistik yang menurut KBBI berarti "kepedulian yang berlebihan pada diri sendiri yang ditandai dengan adanya sikap arogan, percaya diri, dan egois".Â
Ada salah satu adegan yang memperkuat sifat narsistik nan arogan dalam diri Darmi, yaitu ketika Darmi menyesali dirinya yang dilahirkan oleh sang ibu yang miskin.Â
Di depan kaca, sambil mengagumi kecantikannya, ia berkata "ah, aku memang jelita, lebih pantas bagiku untuk tinggal di istana raja daripada di gubuk reot seperti ini.". dengan kesadarannya yang ia tidak sadari, Darmi mempertontonkan sifat arogannya kepada pembaca.
Egoisme bahkan apatis juga terlihat pada diri Darmi. Apatis, ketika ia sama sekali tidak merasa kasihan pada ibunya yang banting tulang, berjuang keras demi sesuap nasi. Sama sekali tidak ada kesadaran pada dirinya.Â
Egois, sebagai anak manja, Darmi merengek minta baju dan selendang baru untuk undangan pesta nanti. Melihat sikap Darmi tersebut, saya berasumsi, faktor kuat yang membentuk kepribadian Darmi adalah sang ibunya sendiri.Â
Sang ibu terlalu lembek, bahkan tidak ada ketegasan terhadap Darmi. Sang ibu seperti membiarkan anaknya menjadi manja, dari sifat manja inilah melahirkan narsistik pada diri Darmi.Â
Ketika Darmi minta baju dan selendang baru, dengan rengekannya, sang ibu tidak menolak dan langsung menyerah pada Darmi. Mungkin saja itu naluri sang ibu terhadap anaknya, tapi keterlaluan juga sang anak yang egois nan apatis dan sudah dewasa, seperti anak kecil bermanja-manja seperti itu.
Saya bisa umpamakan, Darmi seorang yang sakit dan ibunya adalah tabib malang yang tidak bisa menyembuhkan penyakit Darmi. Rasa kasihan dan kepasrahan sang ibu tertindas oleh kedurhakaan sang anak, Darmi.Â
Yang pada akhirnya, di penghujung cerita. Setelah kekalahan sang ibu pada Darmi soal baju dan selendang. Sang ibu memutuskan untuk menjual kayu bakar, yang uangnya nanti akan diberikan pada Darmi untuk dibelikan baju dan selendang baru.