Minyak jelantah adalah minyak goreng yang telah digunakan untuk menggoreng makanan dan kemudian didinginkan untuk digunakan kembali.Â
Minyak ini biasanya mengalami perubahan warna, bau, dan tekstur akibat proses pemanasan berulang, serta dapat mengandung sisa-sisa makanan yang terbakar.
Penggunaan minyak jelantah secara berulang tanpa pengelolaan yang baik ternyata dapat berbahaya bagi kesehatan,Â
Minyak tersebut mengandung senyawa berbahaya seperti akrolein dan lemak trans yang bisa mengganggu tubuh, seperti gangguan pencernaan dan peningkatan risiko penyakit jantung.
Namun, minyak jelantah juga dapat dimanfaatkan untuk keperluan lain, seperti bahan baku pembuatan sabun, lilin, atau biodiesel, sehingga tidak hanya dibuang dan mencemari lingkungan.
Pemerintah kemudian membuat program Green Movement UCO yang diluncurkan oleh Pertamina Patra Niaga dan terus menunjukkan kemajuan yang signifikan.Â
Pada Januari 2025, program ini berhasil mengumpulkan lebih dari 1.162 liter minyak jelantah hanya dalam waktu beberapa minggu dari enam titik pengumpulan yang tersebar di SPBU serta rumah sakit Pertamina di Jakarta dan sekitarnya.Â
Dikutip dari Kabar BUMN, program ini dirancang sebagai upaya untuk mendukung penggunaan energi terbarukan dan mengurangi dampak pencemaran lingkungan akibat pembuangan minyak jelantah sembarangan.
Produksi Sustainable Aviation Fuel (SAF)
Dilansir dari Reuters, Pertamina melalui unit Kilang Pertamina Internasional juga telah mempersiapkan produksi Sustainable Aviation Fuel (SAF) yang direncanakan dimulai pada kuartal pertama tahun 2025.
SAF ini akan diproduksi di kilang Cilacap dengan bahan baku utama berupa minyak jelantah yang dikumpulkan melalui program ini.Â
Kilang Cilacap memiliki kapasitas pengolahan hingga 6.000 barel minyak jelantah per hari, dengan target produksi tahunan sekitar 300.000 kiloliter HVO dan SAF.Â