istri saya.
Beberapa kali di dalam kehidupan ini, saya pernah membahas dan berdebat tentang poligami dengan wanita, termasukDan dapat dimengerti jika pandangan wanita terhadap poligami tentu lebih banyak tidak setuju, berbeda dengan pandangan kaum pria yang biasanya malah dalil "boleh" pun dijadikan wajib.
Pembahasan kali ini mungkin agak berat dari sisi kontennya dan juga pemahaman, namun tetap dijadikan pembahasan, meski saya bukanlah ahli agama, bahkan masih cetek serta perlu banyak belajar.
Apa yang saya tulis ini adalah berdasarkan catatan ketika mengikuti kajian di Majelis Taklim Mushola Nurul Islam, yang berada dekat rumah dan diadakan setiap sabtu malam selepas salat magrib hingga tiba waktu salat Isya.
Materi kajian disampaikan oleh KH. Muhammad Iqbal, Lc, Ketua Yayasan Al Inabah Al Islamiyah Pancoran, yang caranya penyampaiannya santai dengan terkadang diselipi humor khas orang Betawi.
Kitab Fathul Qorib sendiri ditulis oleh Syekh Muhammad bin Qasim Al-Ghazi serta merupakan syarah atau penjelasan dari kitab Al-Ghayah wa At-Taqrib karya Al Qadhi Abu Syuja.
Kitab Fathul Qarib merupakan kitab fikih yang bermazhab Syafi'i yang disusun secara ringkas dan sistematis, serta membahas berbagai masalah fikih dengan mudah dan ringkas.Â
Kitab ini populer di kalangan pesantren dan sering digunakan oleh umat Muslim yang baru belajar ilmu fiqih. Berikut ulasan singkatnya.
BAB MENGGILIR ISTRI DAN NUSYUZ
Ketika seorang laki-laki memiliki dua istri atau lebih, maka bagi dia tidak wajib menggilir diantara kedua atau beberapa istrinya.
Sehingga, seandainya dia berpaling dari istri-istrinya atau istri satu-satunya, dengan tidak berada di sisi mereka atau di sisi satu istrinya tersebut, maka dia tidak berdosa.
Akan tetapi disunnahkan baginya untuk tidak mengosongkan jadwal menginap untuk mereka, begitu juga bagi istri satu-satunya. Dengan artian ia berada di sisi mereka atau di sisi istrinya tersebut.
Minimal empat hari sekali berada bersama dengan satu orang istri.
Hukum Adil di Dalam Menggilir Istri
Menyetarakan giliran di antara istri-istri hukumnya wajib bagi sang suami.
Sama rata adakalanya dipandang dari tempat dan adakalanya dipandang dari waktunya.
Ditinjau dari sisi tempat, maka hukumnya haram mengumpulkan dua orang istri atau lebih di dalam satu rumah kecuali mereka rela.
Adapun dari sisi waktu, maka bagi suami yang tidak menjadi seorang penjaga (bekerja) di malam hari, maka inti giliran yang harus dia lakukan adalah di waktu malam, sedangkan untuk siangnya mengikut pada waktu malam.
Dan bagi suami yang menjadi penjaga di malam hari, maka inti giliran yang harus ia lakukan adalah waktu siang, sedangkan untuk waktu malamnya hanya mengikut pada waktu siang tersebut.
Tidak Boleh Melanggar Giliran
Bagi seorang suami tidak diperkenankan berkunjung di malam hari pada istri yang tidak mendapat giliran tanpa ada hajat.
Jika berkunjungnya karena ada hajat seperti menjenguk istrinya yang sakit dan sesamanya, maka ia tidak dilarang untuk masuk pada istri tersebut.
Dan ketika masuknya karena ada hajat, jika ia berada di sana dalam waktu yang cukup lama, maka wajib mengqadla' seukuran waktu berdiamnya dari giliran istri yang telah ia kunjungi.
Sehingga, jika ia sempat melakukan jima' dengan istri yang ia kunjungi -yang bukan gilirannya-, maka wajib mengqadla' masa jima'nya, bukan melakukan jima'nya, kecuali jika waktunya sangat pendek, maka tidak wajib untuk diqadla'i.
Ketika Hendak Bepergian
Ketika seorang laki-laki yang memiliki beberapa istri ingin bepergian, maka ia harus mengundi di antara istri-istrinya. Dan ia melakukan perjalanan bersama istri yang mendapatkan undian.
Dan bagi suami yang melakukan perjalanan tidak wajib menqadla' lamanya masa perjalanan pada para istrinya yang tidak diajak bepergian / yang ditinggal di rumah.
Jika ia sampai di tempat tujuan dan muqim di sana, dengan artian ia niat muqim yang bisa mengubah status musafirnya di awal pemberangkatan, ketika sampai di tempat tujuan atau sebelum sampai, maka ia wajib mengqadla'i waktu muqimnya,Â
jika istri yang menyertainya dalam perjalanan juga muqim bersamanya sebagai mana keterangan yang disampaikan oleh imam al Mawardi. Jika tidak demikian, maka tidak wajib mengqadla'i.
Adapun waktu perjalanan pulang setelah muqimnya tersebut, maka bagi suami tidak wajib untuk mengqadla'inya.
Pengantin Baru
Ketika seorang suami menikahi wanita yang baru, maka ia wajib mengistimewakannya, walaupun istrinya adalah budak wanita, dan ia memiliki istri lama.
Suami harus menginap di sisi istri barunya tersebut selama tujuh malam berturut-turut, jika istri barunya tersebut masih perawan, dan tidak wajib mengqadla' untuk istri-istri yang lain.
Dan mengkhususkan pada istri barunya tersebut dengan tiga malam berturut-turut, jika istri barunya tersebut sudah janda.
Sehingga, seandainya sang suami memisah malam-malam tersebut dengan tidur semalam di sisi sang istri baru, dan semalam tidur di masjid semisal, maka semua itu tidak dianggap.
Bahkan sang suami harus memenuhi hak istri barunya secara berturut-turut, dan mengqadla'i malam-malam yang telah ia pisah-pisah untuk istri-istri yang lain.
Nusyuz / Purik
Ketika sang suami khawatir istrinya nusyuz, dalam sebagian redaksi dengan ungkapan, "ketika nampak bahwa sang istri nusyuz", maka suami berhak memberi nasihat dengan tanpa memukul dan tanpa diam tidak menyapanya.
Seperti ucapannya pada sang istri, "takutlah engkau pada Allah di dalam hak yang wajib bagimu untukku. Dan ketahuilah sesungguhnya nusyuz bisa menggugurkan kewajiban nafkah dan menggilir."
Mencela suami bukanlah termasuk nusyuz, namun dengan hal itu sang istri berhak diberi pengajaran sopan santun oleh suami menurut pendapat al ashah, dan ia tidak perlu melaporkannya pada seorang qadli.
Jika setelah dinasihati ia tetap nusyuz, maka sang suami mendiamkannya di tempat tidurnya, sehingga ia tidak menemaninya di tempat tidur.
Mendiamkan tidak menyapanya dengan ucapan hukumnya haram dalam waktu lebih dari tiga hari.
Imam an Nawawi berkata di dalam kitab ar Raudlah, "sesungguhnya hukum haram tersebut adalah di dalam permasalan tidak menyapa tanpa ada udzur syar'i. Jika tidak demikian, maka hukumnya tidak haram lebih dari tiga hari."
Jika sang istri tetap saja nusyuz dengan berulang kali melakukannya, maka sang suami berhak tidak menyapa dan memukulnya dengan model pukulan mendidik pada sang istri.
Dan jika pukulan tersebut menyebabkan kerusakan / luka / kematian, maka wajib bagi suami untuk mengganti rugi. Akibat dari nusyuz, giliran dan nafkah bagi sang istri menjadi gugur.
Uraian ini terasa sangat panjang, namun diharapkan kita memahami mengenai permasalahan poligami dan keadilannya, betapa Islam begitu memuliakan kaum wanita, bukan sebaliknya.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H