Mohon tunggu...
Dimas Jayadinekat
Dimas Jayadinekat Mohon Tunggu... Freelancer - Author, Freelance Script Writer, Public Speaker, Enterpreneur Coach

Penulis buku Motivasi Rahasia NEKAT (2012), Penulis Skenario lepas di TVRI dan beberapa rumah produksi (2013-kini), Penulis Rubrik Ketoprak Politik di Tabloid OPOSISI dan Harian TERBIT (2011-2013), Content Creator di Bondowoso Network, Pembicara publik untuk kajian materi Film, Skenario, Motivasi, Kewirausahaan, founder Newbie Film Centre

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Potong Satu Generasi Bangsa Mustahil? Lihat STY dan Erick Thohir dengan Timnas Sepakbolanya

23 November 2024   07:07 Diperbarui: 23 November 2024   08:21 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kala Reformasi masih jadi embrio dan mulai "meletus" di tahun 1998, gaung kalimat potong satu generasi ini menjadi sedemikian akrabnya di telinga kami para aktivis.

Kebetulan saya lulus SMA pada tahun 1995 dan sangat merasakan betul atmosfir dari gaungan kalimat potong satu generasi itu, karena di masa itu saya masih kuliah di tahun pertama.

Di masa itu pula saya memilih Drop Out dari bangku kuliah, tepatnya di semester tiga, akibat gejolak yang ditimbulkan dari mulai pra reformasi hingga paska reformasi.

Namun, kalimat "sakti" di era itu dalam perjalanannya dari tahun ke tahun hingga melewati dua dekade seperti luntur kehilangan makna kesaktiannya.

Sedih? Tentu, karena saya dan banyak teman di era itu yang "tidak kebagian jatah kursi parlemen atau pemerintahan" makin merindukan keterwujudannya.

Kata "tidak kebagian..." jangan di salah artikan bahwa kami benar-benar sangat ingin, tentu tidak serta merta demikian karena masih banyak kawan-kawan seangkatan saya yang berjiwa murni dan terus berikhtiar dalam mewujudkannya.

Saya menjadi bagian dari itu dan ingin terus mewujudkannya lewat pemahaman "subliminal message" di setiap karya baik itu di film ataupun tulisan-tulisan seperti artikel ini.

Potong satu generasi memang cara ideal untuk memperbaiki kondisi negeri yang Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) nya ini sudah menjadi budaya.

Tidak enak memang dan mungkin akan ada yang protes, tapi bagi saya, biarkan saja. Karena faktanya memang demikian bukan?

Silahkan pertanyakan dengan jujur nurani Anda, kebenaran atau salahnya mengenai pendapat saya tersebut.

Setidaknya, saya sangat berani berbeda pendapat dengan Anda yang menolak bahwa KKN sudah menjadi budaya baru bangsa ini.

Ketika Jokowi dianggap melakukan politik dinasti, lantas bagaimana yang lain, terutama terhadap praktik-praktik pilkada di daerah yang juga mempratikkan hal tersebut.

Maksudnya begini, jangan segala protes yang kita lakukan hanya berdasarkan "like or dislike" semata, tapi lebih kepada kritikan yang membawa solusi. Meski kalimat terakhir saya ini pun seringkali diplintir oleh pihak-pihak yang tak ingin disalahkan.

Di tengah kesemrawutan tersebut, ada setitik oase yang sebenarnya harus didukung bersama, yaitu ketika timnas sepakbola mulai unjuk gigi dengan mengeluarkan taring tajamnya kemarin saat mengalahkan Arab Saudi. 

Bahkan sebelumnya pun sudah pernah mengalahkan Australia dan Korea Selatan bukan? Cek beritanya saja sendiri-sendiri ya...

Ya, cara yang dilakukan Shin Tae-yong (STY) kemudian di dukung oleh Erick Thohir (Etho) sebagai ketua umum PSSI, telah sedikit membuktikan "effort" nya.

Jangankan untuk masuk sampai ke babak seperti sekarang, mengalahkan para raksasa Asia itu saja di era lalu sangatlah sulit bahkan hampir mustahil.

Dan coba kita lihat bagaimana kepengurusan serta bentuk hasil pelatihan di era lalu?

Semua penuh dengan intrik. Mulai dari kasus suap, titipan pemain, dan efek komersialisasi dan politisasi kebablasan sehingga tujuan memajukan persepakbolaan tanah air hanyalah omong kosong belaka.

STY dan Etho adalah duet maut yang ingin memajukan persepakbolaan di tanah air secara sungguh-sungguh. Setidaknya itu dari kacamata saya dalam memandang hal tersebut.

Mungkin, STY sangat terpaksa harus melakukan "naturalisasi" pemain. Yang itupun tidak asal, syarat utamanya adalah diaspora atau adanya persinggungan "lahir" dengan tanah air ini.

Mengapa kebanyakan dari Belanda dan atlit muda? Tanya saja STY, namun saya coba menganalisa, mungkin karena kita pernah dijajah Belanda sehingga banyak menghasilkan generasi "persilangan" dua negara.

Jangan mentang-mentang mereka dari Belanda, lantas ada yang mengecap mereka tidak nasionalis. Jas Merah, kata Bung Karno, jangan sekali-kali melupakan sejarah.

Di masa sebelum kemerdekaan kita punya catatan "indah" tentang "pembelotan" orang Belanda yang mati-matian membela Pribumi. Kebetulan keduanya adalah sedarah, namanya Eduard Douwes Dekker dan Ernest Douwes Dekker.

Eduard dan Ernest hidup di zaman yang berbeda. Eduard hidup pada abad ke-19, sementara Ernest baru lahir pada pertengahan abad ke 19. 

Eduard dikenal sebagai Multatuli, sang penulis buku Max Havelaar, sedangkan Ernest dikenal sebagai salah satu tokoh dalam tiga serangkai (bersama Dr.Tipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantoro).

Tiga Serangkai merupakan pelopor nasionalisme Indonesia yang mendirikan Indische Partij. Jauh sebelum era Soekarno, Hatta dan Syahrir.

Eduard dikenal sebagai Multatuli, sang penulis buku Max Havelaar, sedangkan Ernest dikenal dengan nama Danudirja Setiabudi.

Buku Max Havelaar kemudian dibuat film pada tahun 1976, silahkan lihat di sini.

Dan kini legiun muda Belanda yang diturunkan STY anggaplah sebagai generasi penerus Douwes Dekker, putih kulit mereka dan mancung hidungnya, tapi hatinya merah putih, mungkin lebih nasionalis dari kita!

Jika ingin memotong satu generasi di bangsa ini untuk benar-benar mewujudkan Indonesia Emas di tahun 2045 agar tak menjadi Indonesia tewas, sepertinya langkah-langkah dari olahraga sepak bola ini patut ditiru.

Lihat efek nasionalisasi yang secara spontan tercipta saat di akhir pertandingan "kandang", penonton masih betah duduk demi menangis haru bersama sambil menyanyikan lagu Tanah Airku yang diciptakan oleh Ibu Sud.

Syair lagu yang indah seolah menyatukan hati kita di setiap selesai menyaksikan perjuangan anak-anak muda Belanda berdarah Indonesia tersebut.

Pemerintah harus berani untuk mengundang diaspora dan anak muda berkompeten ke negeri ini untuk berkolaborasi membangun negeri. 

Bangunlah bangsa besar ini secara profesional maka niscaya kita akan menjadi Macan Asia!

Bagi kita yang memang pribumi dan mungkin sudah tua,  tak usah iri serta sakit hati, mari sambut mereka dan berkolaborasi bersama. 

Mungkin untuk yang berjiwa KKN akan meronta dan menjerit, tapi saya yakin itu hanyalah shock therapy yang bersifat sementara saja.

Nah, bagaimana, mau maju dengan Potong Satu Generasi, atau masih betah tinggal di negeri yang rusak sistem dan manusianya? Pilihan ada di tangan Anda bukan?***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun