Jangan mentang-mentang mereka dari Belanda, lantas ada yang mengecap mereka tidak nasionalis. Jas Merah, kata Bung Karno, jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Di masa sebelum kemerdekaan kita punya catatan "indah" tentang "pembelotan" orang Belanda yang mati-matian membela Pribumi. Kebetulan keduanya adalah sedarah, namanya Eduard Douwes Dekker dan Ernest Douwes Dekker.
Eduard dan Ernest hidup di zaman yang berbeda. Eduard hidup pada abad ke-19, sementara Ernest baru lahir pada pertengahan abad ke 19.Â
Eduard dikenal sebagai Multatuli, sang penulis buku Max Havelaar, sedangkan Ernest dikenal sebagai salah satu tokoh dalam tiga serangkai (bersama Dr.Tipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantoro).
Tiga Serangkai merupakan pelopor nasionalisme Indonesia yang mendirikan Indische Partij. Jauh sebelum era Soekarno, Hatta dan Syahrir.
Eduard dikenal sebagai Multatuli, sang penulis buku Max Havelaar, sedangkan Ernest dikenal dengan nama Danudirja Setiabudi.
Buku Max Havelaar kemudian dibuat film pada tahun 1976, silahkan lihat di sini.
Dan kini legiun muda Belanda yang diturunkan STY anggaplah sebagai generasi penerus Douwes Dekker, putih kulit mereka dan mancung hidungnya, tapi hatinya merah putih, mungkin lebih nasionalis dari kita!
Jika ingin memotong satu generasi di bangsa ini untuk benar-benar mewujudkan Indonesia Emas di tahun 2045 agar tak menjadi Indonesia tewas, sepertinya langkah-langkah dari olahraga sepak bola ini patut ditiru.
Lihat efek nasionalisasi yang secara spontan tercipta saat di akhir pertandingan "kandang", penonton masih betah duduk demi menangis haru bersama sambil menyanyikan lagu Tanah Airku yang diciptakan oleh Ibu Sud.
Syair lagu yang indah seolah menyatukan hati kita di setiap selesai menyaksikan perjuangan anak-anak muda Belanda berdarah Indonesia tersebut.