Mutiara melempar tasnya ke ranjang dengan mata sembab dan sisa air mata masih membasahi pipinya. Ia bukan lagi overthinking, mungkin sudah luber thinking. Bila diibaratkan, pikirannya sudah tak mampu tertampung lagi di otaknya, saking begitu banyaknya yang ia pikirkan.
"Tiara! begini cara kamu memperlakukan bapakmu sendiri, hah!" bentak Satrio, bapak MutiaraÂ
Satrio coba membuka pintu kamar Mutiara namun terkunci, "BUKA! Bapak belum selesai bicara!"
Suara gedoran pintu pun terdengar karena kekesalan Satrio sudah sampai pada puncaknya, hati dan kepalanya panas. Ada juga rasa perih bagai luka yang tertetesi oleh jeruk nipis.
"Sudah, Pak." Murti, sang istri coba menenangkan Satrio
"Apa sudah? Nggak ada! Selama ini aku tahan, sejak dia kecil. Ini sudah sangat kurang ajar. Durhaka dia!" gusar ucapnya keluar dari keresahan hati yang sangat perih.
"Astaghfirullah al adzhiim.." Murni hanya bisa bermohon ampun kepada Tuhan.
"Kamu, kamu harusnya lebih marah dari aku. Kamu itu ibunya. Kalo kamu marah, kutukanmu lebih manjur dariku. Kau kutuk saja anak itu jadi batu!" umpatnya panjang.
"Pak. Seburuk apapun dia, Mutiara itu anak kita. Darah daging kita, sabar," ucap Murti gemetar.
"25 tahun anak itu kita besarkan. Kita kuliahkan. Dan kita nggak pernah minta uang gajinya sekarang sebagai balas budi. Tapi begini balasannya. Kurang ajar!"
Mutiara di dalam kamar terus menangis dan ia mendengar semua apa yang Satrio serta Murti perbincangkan. Dan Mutiara tidak terima.
"Jadi bapak sebenarnya minta gajiku? Baik! Ini sekarang Tiara transfer!" Mutiara sangat emosi
Ia mengambil HP nya yang berada di dalam tas kerjanya, dan mulai membuka M-banking, berniat benar-benar ingin mentransfer.
"Satu juta cukup, hah! Cukup Pak? Kalo nggak, ini Mutiara transfer semua, ada 5 juta! kalo kurang, besok gaji Tiara buat bapak semua, biar Aku jadi sapi perahan yang kerja buat bapak!" Mutiara berkata kian ngaco.
"ANAK KURANG AJAR!" bentak Satrio, "Buka pintu ini! Biar kamu bisa rasakan tamparan bapak!"
Murti tubuhnya makin gemetar, semua rasa menjadi satu. Ia sedih, kesal, marah, bahkan sudah tak mampu lagi mendefinisikan rasa yang ada di dalam hatinya itu. Semuanya tersalurkan dengan isak tangis dengan tumpahnya derai air mata.
Di dalam kamar, Mutiara pun tak kuat untuk menumpahkan air matanya lagi. HP nya pun ia lempar ke ranjang dan setelah itu tubuhnya menelungkup memeluk guling dengan pakaian kerja yang masih lengkap menempel di badan.
"Bapak nggak pernah adil dan sayang sama Tiara!" ucapnya nyaris tak terdengar karena tumpang tindih dengan tangisannya.
Satrio terdiam, padahal ia sudah ancang-ancang untuk mendobrak pintu kamar Mutiara.
"Tiara, bapak sama ibu sayang banget sama kamu, nak.." Murti pun angkat bicara, sama dengan Mutiara, suaranya tumpang tindih dengan isak tangisan.
"Kalo sayang, nggak gini, bu. Kalo cinta, nggak ada pemaksaan. Emangnya dia mau ngikutin kemauan aku selama ini? Emangnya dia pernah, dengerin keluh kesahku! Dia pikir, tugasnya cuma cari nafkah. Cari duit untuk keluarga, untuk aku? Setelah itu sudah? Enak bener!" Mutiara mulai lancar berkata meski lambat dan masih bertumpang tindih dengan tangisannya.
Satrio makin terpaku, tangannya mengepal, wajahnya memerah dan kepalanya perlahan tertunduk. Ada dorongan rasa aneh di dalam dirinya. Rasa perih yang semakin bertambah tadi mendorong energi kesedihan luar biasa. Matanya mulai berkaca-kaca.
Murti sudah tak sanggup lagi berkata-kata selain menangis, ia terduduk di lantai dan memeluk dengkulnya. Kepalanya dibenturkan perlahan ke dengkulnya sendiri. Tangisannya makin kencang.
Sebagai lelaki, Satrio gengsi menumpahkan air mata di drama picisan itu, meski secara nurani rasa pedih di hatinya telah mendorong air matanya ingin tumpah. Ia tak kuat dan pergi dari "arena" dramatis di malam itu, entah kemana. Satrio merasa tak sanggup berada di rumahnya sendiri, yang dulu terasa indah dan damai, kini terasa bagai neraka jahanam saja!
Dan malam itu, tak ada solusi...
Hal yang biasa terjadi, setidaknya itu yang dirasakan Mutiara. Selalu jika kisah "drama keluarga" itu terjadi, pasti tidak pernah berakhir dengan solusi.
"Itu bukan yang pertama, Yah. Ayah juga tahu kan? Ayah yang jadi saksi gimana selama ini Bapak, ibu, berlaku nggak adil sama aku," Mutiara coba memuntahkan isi hatinya.
Di dalam mushola, pria yang disebut ayah itu menyimak semua curhatan Mutiara dengan tenang. Meski wajahnya terlihat gusar dan penuh kesedihan.
"Ayah juga nggak pernah ngerti, Tia. Bapakmu itu adik kandungku. Memang dia agak laen..."
"Bukan agak, tapi laen banget, aneh!" tambah Mutiara.
"Sudahlah. Sudah berapa kali ayah bilang sama kamu. Sejelek apapun dia, bapakmu itu ya bapakmu. Bapak biologis yang tanpa dia, nggak akan ada kamu," Pandhito coba melerai pikiran Mutiara yang sedang tawuran di dalam otaknya.
"Apa artinya bapak biologis kalo dia nggak pernah bisa ngisi perasaan anaknya. Aku nggak butuh materi dia, yah," ungkap Mutiara dengan penuh kekesalan.
"Huss. Jangan begitu. Kalo nggak ada materi yang sudah dia berikan, mau jadi apa kamu? Kamu kuliah dan jadi sarjana, sekarang kerja di tempat yang enak, itu semua berkat kerja keras yang menghasilkan materi untuk kamu dan ibumu."
"Ya tapi itu nggak cukup, Yah," Mutiara kesal
"Apa yang cukup kalo semua dibandingkan dengan segala keinginanmu? Keinginan manusia itu lebih luas dari samudera paling luas yang ada di dunia ini. Lebih dalam dari palung yang terdalam di lautan. Nggak akan ada ukuran yang tepat untuk memenuhi keinginan manusia yang bakal terus berkembang itu, Tiara."
"Tapi aku nggak suka dipaksa, Yah," ungkap Tiara lagi.
"Tak ada manusia yang pernah rela dipaksa, Tiara," Pandhito seakan setuju.
"Nah, benar kan?" Tiara merasa menang.
"Nggak," ucap Pandhito sambil tersenyum.
"Lho, kok. Jangan bercanda lah Yah..."
"Orang nggak pernah bisa memaksa kita. Tapi kita bisa memaksa diri kita untuk berubah. Harus bahkan. Tanpa paksaan, niat yang kamu tanamkan nggak bakal bisa tumbuh jadi kenyataan. Disiplin itu butuh pemaksaan diri. Dan disiplin itu adalah kunci suksesmu." Pandhito pun menjelaskan alasannya.
Mutiara terdiam, selalu begitu jika ia berhadapan dengan Pandhito yang dipanggilnya ayah sejak kecil. Konon, sejak terlahir ke dunia ini, ayah dan bunda seperti jadi orang tua keduanya.
"Nanti ayah ke rumah. Biar ayah yang bicara ke bapakmu, seperti biasa."
Dalam segala kekacauan "dramatis" seperti itu, Pandhito dan istrinya memang selalu tampil sebagai penengah. Bahkan di mata Mutiara, sang ayahnya itu adalah super hero yang selalu siap sedia menolongnya, kapanpun ia butuhkan.Â
Sebuah ironi bukan? Mutiara yang harusnya akrab dengan kedua orang tuanya, tapi itu tak pernah terjadi selain sekadar basa-basi agar tidak tersebar gosip di para tetangga saja. Maklum, apalagi sekarang, hal yang benar saja bisa jadi salah, apalagai yang salah? bisa jadi benar sesaat dan setelah itu tercampakkan menjadi sangat hina. Secara status saja yang mereka pertahankan, karena tak mungkin ada "perceraian" untuk anak dengan orang tuanya sampai kapanpun.
"Aku nyerah, Mas. Aku sudah nggak tahu lagi harus apa. Anak itu sudah kurang ajar. Aku cuma ingin dia bahagia. Aku cuma ingin menjodohkan dia dengan anak temanku, anak itu pun sudah Tiara kenal dengan baik. Dimana salahku?" Satrio putus asa.
"Sudut pandangmu yang selalu salah," Pandhito berkata tenang.
"Sejak dulu, Mas Dito selalu menyalahkan aku dan membenarkan Mutiara. Pantas saja dia jadi manja dan kepala batu seperti itu."
"Kepala batunya bukan seperti itu, tapi seperti kamu," ucap Pandhito tersenyum.
"Tuh kan," kesalnya Satrio sudah sampai ke ubun-ubun.
"Sudah berapa kali aku katakan, ribuan kali kalo nggak salah. Bicara sama anak itu, jangan melulu menggunakan sudut pandangmu terus. Pakai sudut pandang dia. Anak itu butuh dimengerti, jangan selalu orang tua yang minta dimengerti begitu."
Satrio hanya menunduk, ia mengakui kakaknya yang satu ini selalu pandai di dalam menasihati orang. Entah itu berkah atau anugerah baginya.
"Apalagi ini urusan jodoh. Biar dia yang menentukan, kita hanya mengarahkan, bukan memaksakan,"
"Aku nggak, Mas."
"Tapi ngapain sampai bentak-bentak begitu? Tiara juga sampai nangis-nangis cerita ke kami. Dan persepsi dia, kamu maksa dia. Gimana dong itu?"
"Ya itu kan pandangan dia," Satrio terus tak mau kalah.
"Ya itulah kamu, kalo dibilangin selalu nggak mau terima. Gitu kok bilang anaknya keras kepala. Ngaca, Yo. Ngaca." Pandhito berkata tajam namun tetap dengan pembawaannya yang tenang.
Satiro kembali tertunduk diam.
"Sudahlah, aku nggak pernah minta kamu harus berubah. Percuma. karena perubahan itu nggak bisa dipaksakan. Perubahan itu harus datang dari kesadaran kamu sendiri. Kamu harus sadar bahwa cara kamu selama ini adalah salah. Anak itu nggak hanya minta materi, tapi ia juga minta perhatianmu. Belum terlambat. Semua masih bisa diubah. Permasalahannya, kamunya mau berubah apa nggak?"
Satrio makin terdiam, hatinya yang masih perih oleh sikap Mutiara, kini ditambahi. Bagaikan luka yang ditusuk tombak saja.
"Menjadi orang tua itu nggak ada sekolahnya. Tapi sepanjang hidupnya dia harus terus belajar untuk jadi orang tua yang baik bagi anak-anaknya. Jangan pernah merasa benar sendiri, tapi ajak anakmu mengenal kebenaran di luar versi dirinya. Komunikasi kuncinya. Ngobrol."
Dan Satrio mengakui pada akhirnya bahwa memang ia sangat jarang sekali, bahkan tak pernah bicara dari hati ke hati dengan Mutiara. Basa-basi pun atau sekadar bercanda dengannya tidak pernah. Karena ia pikir, tugasnya memang hanya mencukupi kebutuhan nafkah baginya. Pendidikan adalah urusan sekolah dan istrinya.
"Mutiara, maafin bapak, nak..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H