"Ya itu kan pandangan dia," Satrio terus tak mau kalah.
"Ya itulah kamu, kalo dibilangin selalu nggak mau terima. Gitu kok bilang anaknya keras kepala. Ngaca, Yo. Ngaca." Pandhito berkata tajam namun tetap dengan pembawaannya yang tenang.
Satiro kembali tertunduk diam.
"Sudahlah, aku nggak pernah minta kamu harus berubah. Percuma. karena perubahan itu nggak bisa dipaksakan. Perubahan itu harus datang dari kesadaran kamu sendiri. Kamu harus sadar bahwa cara kamu selama ini adalah salah. Anak itu nggak hanya minta materi, tapi ia juga minta perhatianmu. Belum terlambat. Semua masih bisa diubah. Permasalahannya, kamunya mau berubah apa nggak?"
Satrio makin terdiam, hatinya yang masih perih oleh sikap Mutiara, kini ditambahi. Bagaikan luka yang ditusuk tombak saja.
"Menjadi orang tua itu nggak ada sekolahnya. Tapi sepanjang hidupnya dia harus terus belajar untuk jadi orang tua yang baik bagi anak-anaknya. Jangan pernah merasa benar sendiri, tapi ajak anakmu mengenal kebenaran di luar versi dirinya. Komunikasi kuncinya. Ngobrol."
Dan Satrio mengakui pada akhirnya bahwa memang ia sangat jarang sekali, bahkan tak pernah bicara dari hati ke hati dengan Mutiara. Basa-basi pun atau sekadar bercanda dengannya tidak pernah. Karena ia pikir, tugasnya memang hanya mencukupi kebutuhan nafkah baginya. Pendidikan adalah urusan sekolah dan istrinya.
"Mutiara, maafin bapak, nak..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H