Sebuah ironi bukan? Mutiara yang harusnya akrab dengan kedua orang tuanya, tapi itu tak pernah terjadi selain sekadar basa-basi agar tidak tersebar gosip di para tetangga saja. Maklum, apalagi sekarang, hal yang benar saja bisa jadi salah, apalagai yang salah? bisa jadi benar sesaat dan setelah itu tercampakkan menjadi sangat hina. Secara status saja yang mereka pertahankan, karena tak mungkin ada "perceraian" untuk anak dengan orang tuanya sampai kapanpun.
"Aku nyerah, Mas. Aku sudah nggak tahu lagi harus apa. Anak itu sudah kurang ajar. Aku cuma ingin dia bahagia. Aku cuma ingin menjodohkan dia dengan anak temanku, anak itu pun sudah Tiara kenal dengan baik. Dimana salahku?" Satrio putus asa.
"Sudut pandangmu yang selalu salah," Pandhito berkata tenang.
"Sejak dulu, Mas Dito selalu menyalahkan aku dan membenarkan Mutiara. Pantas saja dia jadi manja dan kepala batu seperti itu."
"Kepala batunya bukan seperti itu, tapi seperti kamu," ucap Pandhito tersenyum.
"Tuh kan," kesalnya Satrio sudah sampai ke ubun-ubun.
"Sudah berapa kali aku katakan, ribuan kali kalo nggak salah. Bicara sama anak itu, jangan melulu menggunakan sudut pandangmu terus. Pakai sudut pandang dia. Anak itu butuh dimengerti, jangan selalu orang tua yang minta dimengerti begitu."
Satrio hanya menunduk, ia mengakui kakaknya yang satu ini selalu pandai di dalam menasihati orang. Entah itu berkah atau anugerah baginya.
"Apalagi ini urusan jodoh. Biar dia yang menentukan, kita hanya mengarahkan, bukan memaksakan,"
"Aku nggak, Mas."
"Tapi ngapain sampai bentak-bentak begitu? Tiara juga sampai nangis-nangis cerita ke kami. Dan persepsi dia, kamu maksa dia. Gimana dong itu?"