"Ya tapi itu nggak cukup, Yah," Mutiara kesal
"Apa yang cukup kalo semua dibandingkan dengan segala keinginanmu? Keinginan manusia itu lebih luas dari samudera paling luas yang ada di dunia ini. Lebih dalam dari palung yang terdalam di lautan. Nggak akan ada ukuran yang tepat untuk memenuhi keinginan manusia yang bakal terus berkembang itu, Tiara."
"Tapi aku nggak suka dipaksa, Yah," ungkap Tiara lagi.
"Tak ada manusia yang pernah rela dipaksa, Tiara," Pandhito seakan setuju.
"Nah, benar kan?" Tiara merasa menang.
"Nggak," ucap Pandhito sambil tersenyum.
"Lho, kok. Jangan bercanda lah Yah..."
"Orang nggak pernah bisa memaksa kita. Tapi kita bisa memaksa diri kita untuk berubah. Harus bahkan. Tanpa paksaan, niat yang kamu tanamkan nggak bakal bisa tumbuh jadi kenyataan. Disiplin itu butuh pemaksaan diri. Dan disiplin itu adalah kunci suksesmu." Pandhito pun menjelaskan alasannya.
Mutiara terdiam, selalu begitu jika ia berhadapan dengan Pandhito yang dipanggilnya ayah sejak kecil. Konon, sejak terlahir ke dunia ini, ayah dan bunda seperti jadi orang tua keduanya.
"Nanti ayah ke rumah. Biar ayah yang bicara ke bapakmu, seperti biasa."
Dalam segala kekacauan "dramatis" seperti itu, Pandhito dan istrinya memang selalu tampil sebagai penengah. Bahkan di mata Mutiara, sang ayahnya itu adalah super hero yang selalu siap sedia menolongnya, kapanpun ia butuhkan.Â