Murti sudah tak sanggup lagi berkata-kata selain menangis, ia terduduk di lantai dan memeluk dengkulnya. Kepalanya dibenturkan perlahan ke dengkulnya sendiri. Tangisannya makin kencang.
Sebagai lelaki, Satrio gengsi menumpahkan air mata di drama picisan itu, meski secara nurani rasa pedih di hatinya telah mendorong air matanya ingin tumpah. Ia tak kuat dan pergi dari "arena" dramatis di malam itu, entah kemana. Satrio merasa tak sanggup berada di rumahnya sendiri, yang dulu terasa indah dan damai, kini terasa bagai neraka jahanam saja!
Dan malam itu, tak ada solusi...
Hal yang biasa terjadi, setidaknya itu yang dirasakan Mutiara. Selalu jika kisah "drama keluarga" itu terjadi, pasti tidak pernah berakhir dengan solusi.
"Itu bukan yang pertama, Yah. Ayah juga tahu kan? Ayah yang jadi saksi gimana selama ini Bapak, ibu, berlaku nggak adil sama aku," Mutiara coba memuntahkan isi hatinya.
Di dalam mushola, pria yang disebut ayah itu menyimak semua curhatan Mutiara dengan tenang. Meski wajahnya terlihat gusar dan penuh kesedihan.
"Ayah juga nggak pernah ngerti, Tia. Bapakmu itu adik kandungku. Memang dia agak laen..."
"Bukan agak, tapi laen banget, aneh!" tambah Mutiara.
"Sudahlah. Sudah berapa kali ayah bilang sama kamu. Sejelek apapun dia, bapakmu itu ya bapakmu. Bapak biologis yang tanpa dia, nggak akan ada kamu," Pandhito coba melerai pikiran Mutiara yang sedang tawuran di dalam otaknya.
"Apa artinya bapak biologis kalo dia nggak pernah bisa ngisi perasaan anaknya. Aku nggak butuh materi dia, yah," ungkap Mutiara dengan penuh kekesalan.
"Huss. Jangan begitu. Kalo nggak ada materi yang sudah dia berikan, mau jadi apa kamu? Kamu kuliah dan jadi sarjana, sekarang kerja di tempat yang enak, itu semua berkat kerja keras yang menghasilkan materi untuk kamu dan ibumu."