Mohon tunggu...
Dimas Jayadinekat
Dimas Jayadinekat Mohon Tunggu... Freelancer - Author, Freelance Script Writer, Public Speaker, Enterpreneur Coach

Penulis buku Motivasi Rahasia NEKAT (2012), Penulis Skenario lepas di TVRI dan beberapa rumah produksi (2013-kini), Penulis Rubrik Ketoprak Politik di Tabloid OPOSISI dan Harian TERBIT (2011-2013), Content Creator di Bondowoso Network, Pembicara publik untuk kajian materi Film, Skenario, Motivasi, Kewirausahaan, founder Newbie Film Centre

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dia Bukan Bapakku

25 September 2024   06:49 Diperbarui: 25 September 2024   07:44 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mutiara melempar tasnya ke ranjang dengan mata sembab dan sisa air mata masih membasahi pipinya. Ia bukan lagi overthinking, mungkin sudah luber thinking. Bila diibaratkan, pikirannya sudah tak mampu tertampung lagi di otaknya, saking begitu banyaknya yang ia pikirkan.

"Tiara! begini cara kamu memperlakukan bapakmu sendiri, hah!" bentak Satrio, bapak Mutiara 

Satrio coba membuka pintu kamar Mutiara namun terkunci, "BUKA! Bapak belum selesai bicara!"

Suara gedoran pintu pun terdengar karena kekesalan Satrio sudah sampai pada puncaknya, hati dan kepalanya panas. Ada juga rasa perih bagai luka yang tertetesi oleh jeruk nipis.

"Sudah, Pak." Murti, sang istri coba menenangkan Satrio

"Apa sudah? Nggak ada! Selama ini aku tahan, sejak dia kecil. Ini sudah sangat kurang ajar. Durhaka dia!" gusar ucapnya keluar dari keresahan hati yang sangat perih.

"Astaghfirullah al adzhiim.." Murni hanya bisa bermohon ampun kepada Tuhan.

"Kamu, kamu harusnya lebih marah dari aku. Kamu itu ibunya. Kalo kamu marah, kutukanmu lebih manjur dariku. Kau kutuk saja anak itu jadi batu!" umpatnya panjang.

"Pak. Seburuk apapun dia, Mutiara itu anak kita. Darah daging kita, sabar," ucap Murti gemetar.

"25 tahun anak itu kita besarkan. Kita kuliahkan. Dan kita nggak pernah minta uang gajinya sekarang sebagai balas budi. Tapi begini balasannya. Kurang ajar!"

Mutiara di dalam kamar terus menangis dan ia mendengar semua apa yang Satrio serta Murti perbincangkan. Dan Mutiara tidak terima.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun