Di sudut bangku kapel terhias jelita Maria kecil dibalik redupnya cahaya lilin. Sepasang mata sayu menhantui kegelapan malam ini. Tangan mengayun menarik hati dan senyum Dewi yang menghidang bulir narwastu ditangan rapuhnya. Ia ditemani sendunya mantra-mantra yang berbisik dari lancipnya duri-duri mawar berpasang menyurut, menyekat dan memberi ruang pada sukma yang tertatih jauh dari kenyataan ini.
Dibalik fatamorgana dan bisingnya deru jangkrik malam, dihiasi jutaan bintang, jauh di saung yang rapuh, dan disini di pilar-pilar ingin mengucap setapal rindu di tepi Sungai Musi, dalam derasnya riak dan berulang tanpa tereja. Bait-bait rindu teruap dikaca jendela, menjadi radar kekecawaan yang tersirat dan terekat di monokrom dalam ucapan dan teriakan segala tawanan kehampaan.
Ingin ku senandungkan monodi malam ini, dibalik tirai-tirai hujan, dan debu yang kini melekat serta sawang yang berbaris urakan pada segelutir rasa yang pernah kita sampaikan di sakristi dulu. Kini lafal-lafal yang meredup, kata-kata yang memisah pada pembatas buku memudar menghilang sendiri dan tergantung pada tumpulnya bulan purnama.
Larik-larik perpaduan bimbang kecewa, terlontar sejuta asa pada dinginnya malam yang menusuk pikiran sendu, tapi dibalik bayangan sang malam ada makna yang coba dipetik, gadis itu yang pernah kutemui dulu, membekasi gincu yang menoda di sudut bibirku, dan berkaca pada cermin di sabtu pagi. "Ah.. omong kosong!" gerutunya. Cukup, kini lilin itu menemaniku tidur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H