Mohon tunggu...
Dimas FauziRahayu
Dimas FauziRahayu Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Sunan Gunung Djati Bandung

saya merupakan seorang yang suka menggambar walau tidak ahli dalam menggambar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fase dan Berkembangnya Islam di Betawi: Historiografi Islam

16 Juni 2023   17:12 Diperbarui: 16 Juni 2023   17:18 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejarah masuknya Islam ke nusantara memiliki banyak versi, seperti halnya sejarah masuknya Islam ke tanah Betawi. Tidak ada yang setuju tentang kapan agama Islam mulai berkembang di wikayah ini. Sebagian besar orang berpendapat bahwa ketika Fatahillah (Fadhillah Khan) menyerbu Sunda Kelapa pada 22 Juni 1527 untuk menghapus pendudukan Portugis, orang-orang Islam mulai masuk ke Betawi.

Menurut Ridwan Saidi, seorang kebudayawan Betawi, kedatangan Syekh Hasanuddin, yang kemudian dikenal sebagai Syekh Quro, dari Kamboja pada tahun 1409 adalah awal kedatangan Islam di Betawi. Dari sinilah tahap-tahap perkembangan Islam dan sejarah keulamaan di Betawi dimulai:

  • Periode awal penyebaran Islam di Betawi dan wilayah sekitarnya dari tahun 1418 hingga 1527 terdiri dari Syekh Quro, Kean Santang, Pangeran Syarif Lubang Buaya, Pangeran Papak, Dato Tanjung Kait, Kumpi Dato Depok, Dato Tonggara, Dato Ibrahim Condet, dan Dato Biru Rawa Bangke.
  • Penyebaran Islam yang lebih luas (1522-1650): Fatahillah (Fadhillah Khan), Dato Wan, Dato Makhtum, Pangeran Sugiri dari Kampung Padri, dan Kong Ja'mirin dari Kampung Marunda.
  • Penyebaran Islam yang lebih lanjut (1650-1750): Abdul Muhid bin Tumenggung Tjakra Jaya dan keturunannya yang berbasis di Masjid Al-Manshur Jembatan Lima, keturunan dari Pangeran Kadilangu, Demak yang berbasis di Masjid Al-Makmur, Tanah Abang.
  • Periode awal pengembangan Islam (1750--awal abad ke-19): Habib Husein Alaydrus Luar Batang dan Syekh Junaid Al-Betawi, Pekojan.
  • Periode kedua pengembangan Islam berlangsung dari abad ke-19 hingga sekarang.

Menurut penelitian Ridwan Saidi, Syekh Quro, yang berasal dari Campa (Kamboja), adalah ulama Betawi yang pertama yang dapat dilacak jejaknya. Ridwan Saidi memilih Syekh Quro sebagai ulama Betawi pertama karena kiprahnya dalam mengislamkan orang Betawi di Karawang. Ia bahkan memiliki murid, yang kemudian menyebarkan Islam sampai ke wilayah Sunda Kelapa (Jakarta). Ridwan Saidi menyatakan bahwa Karawang sendiri termasuk dalam area kebudayaan Betawi.

Karena dia berasal dari Campa, Syekh Quro diterima oleh orang Betawi di Karawang. Ridwan Saidi menyatakan bahwa orang Campa adalah suku Melayu yang pernah memiliki kerajaan. Mereka memiliki hubungan yang kuat dengan orang Malabar, yang juga akrab dengan orang-orang di Jawa bagian barat sejak ribuan tahun yang lalu. Orang Campa yang menyebarkan Islam di Karawang tidak hanya berhenti di Syekh Quro. Di Batu Jaya, Karawang, ada makam guru Toran berdarah Campa yang sangat dihormati di tepi kali Citarum.

Syekh Sekuro juga dikenal dengan nama Syekh Qurotul'ain, Mursyahadatillah, atau Syekh Hasanuddin. Ia adalah ahli qiroat atau ngaji yang sangat merdu, jadi ia disebut Syekh Quro. Ia disebut Syekh Qurotul'ain atau Syekh Mursyahadatillah, tetapi tidak diketahui mengapa. Sementara nama Syekh Hasanuddin dianggap sebagai nama aslinya.

Putra dari salah satu ulama terkenal di Mekah, Syekh Yusuf Siddiq, yang menyebarkan Islam di Campa, adalah Sayyidina Husain bin Sayyidina Ali karamallahu wajhah. Tidak ada informasi yang jelas tentang kehidupan awal Syekh Quro. Sumber-sumber tertulis hanya mengatakan bahwa pada tahun 1409 Masehi, setelah berdakwah di Campa dan Malaka, dia pergi ke Martasinga Pasambangan dan Japura sebelum akhirnya tiba di Pelabuhan Muara Jati, Cirebon. Ki Gedeng Tapa atau Ki Gedeng Jumajan Jati, keturunan Prabu Wastu Kencana, menyambut Syekh Quro dengan baik. Dengan cara yang sama, masyarakat di daerah tersebut sangat tertarik dengan sifat, sikap, dan ajaran Syekh Quro sehingga banyak dari mereka yang menyatakan memeluk agama.

Raja Pajajaran, yang saat itu dijabat oleh Prabu Anggalarang, sangat cemas dengan tindakan dakwah Syekh Quro ini. Raja Pajajaran ini meminta Syekh Quro untuk berhenti berdakwah. Syekh Quro mengikuti permintaan ini. Tidak lama kemudian, Ki Gedeng Tapa menyadari peristiwa yang menimpa para ulama besar itu, dan Syekh Quro meminta pamit. Karena itu, dia juga ingin belajar lebih banyak tentang agama Islam, jadi ketika Syekh Quro kembali ke Campa, putrinya, Nyi Mas Subang Larang, diberikan kepada Syekh Quro untuk dididik tentang agama Islam di Campa.

Syekh Quro kembali ke wilayah Pajajaran beberapa tahun kemudian. Setelah kembali bersama pengiringnya, ia kembali menumpang kapal yang dipimpin Laksamana Cheng Ho menuju Majapahit. Syekh Hasanudin turun di Karawang selama perjalanannya. Nyi Mas Subang Larang, Syekh Abdul Rahman, Syekh Maulana Madzkur, dan Syekh Abdillah Dargom, juga dikenal sebagai Darugem, atau Bentong bin Jabir Mudofah, adalah anggota pengiringnya. Pada tahun 1418, Syekh Quro dan pengiringnya menerima izin dari aparat setempat untuk mendirikan mushola sebagai tempat ibadah dan tempat tinggal. Ini menjadi pondok pesantren pertama di Karawang, bahkan mungkin di Indonesia, karena perilaku yang ramah. Selain itu, mushola ini berfungsi sebagai cikal bakal Masjid Agung Karawang saat ini.

Prabu Anggalarang mendengar tentang kedatangan Syekh Quro di Karawang dan mengirim utusan untuk menutup Pesantren Syekh Quro. Putra mahkota bernama Raden Pamanah Rasa adalah pemimpin utusan tersebut dan tertarik dengan alunan suara merdu yang membacakan ayat-ayat Al-Qur'an yang dikumandangkan oleh Nyi Mas Subang Larang. Pada akhirnya, Raden Pamanah Rasa masuk Islam, dan keduanya menikah. Mereka menikah dan memiliki tiga anak: Raden Walangsungsang, Nyi Mas Rara Santang, dan Raja Sangara. Terkenal sebagai Prabu Kian Santang (Sunan Rohmat), dia menyebarkan Islam di Tanah Sunda. Ridwan Saidi juga mengatakan bahwa Kian Santang menyebarkan Islam di Betawi, terutama di Karawang.

Sebelum meninggal, Syekh Quro meninggalkan pesantrennya untuk uzlah, atau meninggalkannya. Dia pindah ke salah satu Dusun Pulobata, Desa Pulokalapa, yang sekarang termasuk dalam kecamatan Lemahabang, yang masih berada di wilayah Karawang. Salah satu Imam Masjid Agung Karawang mengatakan bahwa ada keterangan yang menarik tentang letak kuburan Syekh Quro. Syekh Quro dimakamkan tepat di depan tembok Masjid Agung Karawang saat ini. Hal ini dilakukan agar orang tidak ramai mengunjungi dan mengkultuskan makamnya. Namun, menurut buku Ikhtisar Sejarah Singkat Syekh Qurotul'ain, banyak orang datang ke makam Syekh Quro di Pulobata untuk berbagai alasan. E. Sutisna, (keturunan Raden Somaredja yang menemukan makam tersebut), mengatakan bahwa makam Syekh Quro berada di pulobata adalah petilasan atau "maqom" daripada kuburannya. . Sehingga dapat dikatakan bahwa yang berada di Masjid Agung Karawang adalah kuburan dari Syekh Quro, bukan yang berada di Pulobata.

Sumber :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun