Mohon tunggu...
DIMAS DWI WICAKSONO
DIMAS DWI WICAKSONO Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi saya adalah membaca berita dan buku yang berkaitan dengan politik, pemerintahan, ekonomi, otomotif, sejarah dan sebagainya. Saya tipe orang yang ekstrovert senang bergaul dengan siapa saja.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kontroversi Kebijakan dan Komentar Kemendikbud terhadap Kenaikan UKT yang Dinilai Tidak Beretika

12 Juni 2024   12:28 Diperbarui: 12 Juni 2024   14:07 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Demo | Sumber: Pixabay oleh OpenClipart-Vectors

Latar Belakang

Pada 18 Mei 2024, mahasiswa di seluruh Indonesia dikejutkan oleh isu kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di berbagai Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Isu ini pertama kali mencuat di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) dan segera diikuti oleh PTN lainnya, termasuk Universitas Brawijaya. Mengutip dari Detiknews, kenaikan ini disebabkan oleh peraturan baru yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), yaitu Permendikbud No 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada PTN di lingkungan Kemendikbudristek.

Rencana Kenaikan UKT di Universitas Brawijaya

Universitas Brawijaya berencana menambah golongan UKT dari 8 menjadi 12. Hal ini menimbulkan reaksi keras dari mahasiswa, terutama calon mahasiswa baru. Setelah pengumuman resmi kenaikan UKT, gelombang protes muncul dari berbagai PTN yang berencana menaikkan atau menambah golongan UKT. Banyak PTN akhirnya mengalihkan protes mahasiswa kepada Kemendikbud, yang dianggap sebagai pemicu kebijakan tersebut.

Respon Kemendikbud

Kemendikbud mendapat banyak kritik karena dinilai gagal menanggapi protes mahasiswa dan masyarakat dengan baik. Pada 16 Mei 2024, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud, Cicik Sri Cahyandarie, menyatakan bahwa pendidikan Strata 1 bukan bagian dari sistem wajib belajar 12 tahun dan merupakan kebutuhan tersier atau pilihan. Pernyataan ini memicu kecaman dari masyarakat, sebab dalam konteks umum, kebutuhan tersier biasanya berkaitan dengan barang mewah seperti mobil gadget, perhiasan, dan lain-lain. Kritik semakin tajam setelah Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim, menyatakan bahwa kenaikan UKT hanya berlaku bagi mahasiswa baru. Banyak yang menganggap pernyataan ini tidak sensitif, khususnya bagi mahasiswa baru dari kalangan masyarakat kelas menengah.

Peran Media dan Influencer

Media sosial dan platform seperti TikTok dan YouTube turut memanaskan situasi. Influencer seperti Ferry Irwandi dengan video berjudul "665 Triliun" membahas isu ini secara mendalam, mengkritisi tujuan kebijakan baru, alasan kenaikan UKT, dan masalah transparansi dalam seleksi golongan UKT.

Aksi Mahasiswa

Mahasiswa di seluruh Indonesia turun ke jalan menuntut pencabutan kebijakan baru tersebut. Mereka juga melakukan demonstrasi di depan gedung rektorat dan direktorat PTN. Pada 27 Mei 2024, setelah menerima berbagai kecaman dan demo yang tidak kunjung usai, Menteri Nadiem Makarim akhirnya memutuskan untuk menunda kenaikan UKT sesuai instruksi Presiden.

Refleksi Filosofis

Dalam menelaah isu kenaikan UKT, penting untuk mempertimbangkan prinsip keadilan dan kesetaraan dalam akses pendidikan. Pendidikan tinggi seharusnya menjadi hak semua warga negara, bukan hak istimewa bagi kalangan tertentu. Kenaikan UKT yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan sosial bertentangan dengan Sila kelima Pancasila, yang menekankan kesempatan yang sama dalam mengakses pendidikan tinggi tanpa hambatan ekonomi. Ketidakadilan struktural dalam sistem pendidikan akan menghambat mobilitas ekonomi dan mengkhianati nilai-nilai keadilan sosial.

Perspektif Etika

Dari segi etika komunikasi, tanggapan pemerintah dan universitas terhadap protes mahasiswa sangat krusial. Komunikasi yang dilakukan oleh pihak berwenang, dalam hal ini Kemendikbud, seharusnya mempertimbangkan transparansi, tanggung jawab, dan empati. Pernyataan yang kontroversial dan meremehkan kebutuhan pendidikan mahasiswa menunjukkan kurangnya sensitivitas terhadap dampak sosial dan psikologis dari kebijakan tersebut. Etika komunikasi menuntut agar pihak berwenang berkomunikasi dengan jujur, jelas, dan responsif terhadap kekhawatiran publik. Kegagalan dalam berkomunikasi secara etis dapat memperburuk situasi dan menambah ketidakpercayaan serta konflik antara mahasiswa dan institusi pendidikan.

Pelajaran yang Bisa Diambil

Kasus ini mengajarkan pentingnya pendekatan yang adil dan etis dalam pengambilan keputusan kebijakan publik, terutama yang berdampak luas seperti pendidikan. Melalui refleksi filosofis dan etis, kita diingatkan bahwa kebijakan yang baik tidak hanya efektif secara administratif tetapi juga adil dan peka terhadap kebutuhan serta aspirasi masyarakat yang dilayani.

Dimas Dwi W, mahasiswa Sarjana Ilmu Komunikasi UB.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun