Mohon tunggu...
Dimas
Dimas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Politik

"RUU Ketahanan Keluarga dalam Perspektif Gender dan Politik"

10 Desember 2024   19:11 Diperbarui: 10 Desember 2024   19:10 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga (RUU KK) pertama kali diusulkan pada 17 Desember 2019 oleh anggota DPR lintas Fraksi yang terdiri dari F-PKS, F-Golkar, F-Gerindra, dan F-PAN. Tujuan perumusan RUU ini adalah untuk meningkatkan ketahanan keluarga indonesia dalam mengelola sumber daya fisik maupun non fisik termasuk mengelola masalah rumah tangga. Sebagai unit sosialisasi terkecil keluarga memiliki peran fundamental dalam pembentukan karakter anak sebagai calon penerus bangsa, sehingga ketahanan keluarga merupakan pilar utama dalam mewujudkan ketahanan nasional. Netty Prasetiyani dari Fraksi PKS sebagai salah satu pengusul RUU KK dalam sebuah wawancara di Kompas TV (27/02/2020) mengatakan bahwa aspek ketahanan dalam keluarga menjadi sangat penting dalam konteks yang lebih luas yakni ketahanan nasional, sebab keluarga bisa mencegah anak agar tidak terpapar paham radikalisme, budaya menyimpang, dan lain sebagainya.

Para pengusul RUU ini melihat adanya urgensi bahwa belum ada payung hukum pada tingkat Undang-Undang yang secara spesifik mengatur tentang keluarga. Lebih lanjut, penguatan komitmen berkeluarga dirasa perlu ditekankan demi mewujudkan keluarga yang memiliki ketahanan yang baik. Data dari BPS menunjukkan adanya tren kenaikan kasus perceraian di Indonesia sejak 2013 sampai 2018. Tingginya kasus perceraian menunjukan lemahnya ketahanan keluarga Indonesia dalam menghadapi permasalahan yang terjadi di rumah tangga. Perceraian juga berimplikasi pada menurunnya kualitas asuh anak dan membuat anak kehilangan sebagian hak-hak pengasuhannya yang seharusnya menjadi tanggung jawab keluarga untuk menjamin mutu tumbuh kembang anak. Sehingga dirasa perlu adanya Undang-Undang yang khusus membahas dan mengatur tentang ketahanan keluarga dalam rangka upaya penguatan ketahanan keluarga dan pencegahan perceraian serta tindak kekerasan dalam keluarga. Pokok-pokok pengaturan RUU KK ini mencakup perlindungan keluarga yang meliputi perlindungan eksistensi keluarga, perlindungan legalitas keluarga, perlindungan kerentanan keluarga, serta perlindungan keluarga dalam kondisi khusus. Harapannya agar keluarga terhindar dari masalah persengketaan, perpecahan, pertikaian, dan perpisahan serta dampak negatif yang ditimbulkan bagi anggota keluarga baik fisik maupun non fisik. Selain itu, untuk menghadapi globalisasi dan borderless society yang terjadi saat ini, diperlukan juga adanya integritas dari dalam individu agar setiap orang memegang nilai-nilai luhur yang kuat sehingga tidak terpapar dampak buruk dari globalisasi. Dalam upaya penanaman nilai tersebut, keluarga sebagai instrumen sosial terkecil menjadi sangat dibutuhkan perannya. Bagian pengasuhan dan pengampuan anak pada RUU KK ini juga mengatur agar keluarga membina dan membentuk karakter anak agar bisa menjadi manusia yang beriman, berilmu, berakhlak mulia, dan berwawasan kebangsaan yang baik.

Secara umum, sebenarnya usulan RUU KK ini dapat dibilang cukup progresif sebab telah menunjukkan adanya perhatian besar dari negara yang dituangkan dalam produk hukum kepada masyarakatnya bahkan hingga menyentuh unit terkecil yakni keluarga. Secara substansial, terdapat pasal-pasal yang juga secara spesifik mengatur hak-hak setiap anggota keluarga khususnya anak. RUU KK sangat berperspektif pada jaminan tumbuh kembang, perlindungan, dan pengasuhan anak secara berkualitas. Pemenuhan pengasuhan dan pengampuan anak juga diatur sedemikian rinci dalam RUU ini agar hak-hak asuh anak bisa terpenuhi dengan baik. Salah satu poin yang dapat diteladani dalam RUU ini adalah peran aktif pemerintah dalam pencegahan hingga penanganan perlindungan anak. Jika membandingkan dengan UU di beberapa negara maju tentang child care, peran pemerintah sebagaimana tertulis dalam RUU ini sudah cukup progresif. Bahkan di Amerika, intervensi pemerintah dalam penanganan pengasuhan anak masih terbilang rendah dan belum menjadi fokus utama mereka.

Selain hak-hak atas anak, RUU KK juga mengatur hak dan kewajiban suami dan istri dalam keluarga. Pasal 29 menekankan bahwa ibu yang bekerja berhak mendapatkan hak cuti melahirkan dan menyusui selama 6 (enam) bulan tanpa kehilangan haknya atas upah dan posisi di pekerjaannya. Perusahaan khususnya instansi pemerintah tempat seorang ibu bekerja harus memfasilitasi tempat menyusui dan lingkungan yang nyaman bagi ibu dan anak. Suami yang bekerja juga berhak memperoleh cuti ketika istri melahirkan dan ketika anak atau istrinya sakit dan meninggal. Aturan mengenai hak orang tua dalam bentuk yang lebih maju sebenarnya dapat dilihat pada negara-negara skandinavia (Denmark, Swedia, Finlandia, Norwegia,). Hak cuti seharusnya menjadi hak kedua orang tua baik ibu dan ayah dan tidak hanya pasca melahirkan tetapi juga jelang kelahiran. ASI eksklusif seharusnya diberikan selama 2 tahun, selama masa itu juga seharusnya seorang ibu diberikan hak cutinya tanpa kehilangan hak atas upah dan posisinya di pekerjaan.

Kritik lain datang dari Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah, dalam sebuah wawancara pada program layar demokrasi di CNN Indonesia yang bertajuk "Balada RUU Ketahanan Keluarga" pada 20 Februari 2020 lalu. Menurutnya tidak ada urgensi mendesak dalam pembentukan RUU KK. Sebab beberapa pasal yang tercantum didalamnya sudah banyak diatur dalam Undang-Undang sebelumnya seperti UU Perkawinan, UU Perlindungan Anak, UU Kesehatan, dan lain-lain. Dengan adanya RUU KK justru memberikan tumpang tindih aturan yang memperumit hukum yang ada. Lebih lanjut menurutnya, melalui RUU KK negara menjadi terlalu mencampuri urusan privat rumah tangga. Pasal 25 yang mengatur tentang hak dan kewajiban suami istri juga dinilai sebagai sebuah kemunduran karena mendomestifikasi tugas dan kewajiban perempuan kembali menjadi penanggung jawab urusan domestik rumah tangga. Kepala Keasistenan Pengaduan Masyarakat Ombudsman RI Kalimantan Timur, Ria Maya Sari, juga mengatakan bahwa RUU KK bertentangan dengan semangat pengarusutamaan gender dan nilai-nilai SDGs tentang kesetaraan dan harmonisasi gender. Segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan baik dalam ruang publik dan privat seharusnya dihilangkan dan mendorong kesetaraan dan pemberdayaan perempuan di semua level. Namun, RUU KK dinilai sebagai kemunduran sebab mendemarkasi perempuan dalam ranah domestik menekankan konstruksi sosial perempuan sebagai ibu rumah tangga.

Konsep harmonisasi gender (gender harmony) menurut Module Development of Gender Harmony in Islamic Education Perspective yang ditulis oleh para scholars dari Universitas Ibn Khaldun menyatakan bahwa konsep ini merupakan sebuah pengembangan dari ide tentang gender yang mengakomodasi kesetaraan gender di masyarakat. Harmonisasi gender dalam perspektif Islam memang mengakui adanya perbedaan kondisi fisik dan psikis beserta hak serta kewajiban yang dimiliki setiap gender. Namun, perbedaan tersebut harus diakomodasi dan diberdayakan sebagai suatu yang saling melengkapi tanpa memberikan tendensi superioritas suatu gender terhadap gender lainnya. Berkaca pada dinamika RUU KK ini, Penulis semakin yakin bahwa kehadiran perempuan dalam politik sebagai pembuat kebijakan harus terus didorong agar output berupa kebijakan yang dikeluarkan bisa lebih banyak berperspektif kepada perempuan sebagai kelompok marjinal di masyarakat. Representasi perempuan dalam politik harus ditingkatkan baik kuantitas maupun kapabilitasnya. Kebijakan afirmatif 30% keterwakilan perempuan harus terus diupayakan agar representasi yang substansial dari perempuan dapat terwujud. Politics of ideas bisa bertransformasi menjadi politics of presence sehingga memberi keberdampakan yang lebih dalam terhadap proses perumusan kebijakan.

Sejak pengusulan sampai saat ini RUU Ketahanan Keluarga masih ada pada tahap harmonisasi di DPR dan belum masuk Program Legislasi Nasional yang di prioritaskan. Secara ide sebenarnya RUU ini merupakan aturan yang sangat progresif. Namun masih banyak memerlukan pengkajian lebih dalam yang didasari pada kajian ilmiah. Revisi pasal-pasal yang dianggap kontroversial perlu dilakukan dan disesuaikan dengan perkembangan situasi yang relevan saat ini. Nilai-nilai kesetaraan gender terutama yang berperspektif terhadap perempuan perlu mendapat perhatian lebih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun